"Ooohhh  juwita
Mengapa kau dan aku berbeda
Sampai-sampai aku kini tak berdaya
Berjalan kembali, ragu mengucap kata"
Ya, ini sudah yang kesekian kalinya aku gagal lagi meneruskan niat. Mengucap cinta. Rena, gadis berparas rupawan, mengambil hatiku sejak pertama kali bersua dengannya. Perempuan berkulit kuning langsat dengan mata sipit itu pertama kali kulihat saat ia sedang memasuki perpustakaan. Aku yang kala itu tengah memilah milih buku, sampai tertegun beberapa saat ketika sorot mata tepat beradu pandang dengannya.
Betul, senyum manis yang tergariskan rapih pada mimik wajahnya menebar ketenangan dalam hati. Dan, melabuhkan rasa cinta padanya tentu saja! Saat kutahu bahwa Rena adalah mahasiswa fakultas manajemen dan bisnis, sudah kuduga sejak awal kalau ia pasti berasal dari kalangan orang yang mampu. Orang kaya.
Hal itu kemudian bisa kulihat dari setelan fashionnya yang elegan namun menyimpan banyak kemewahan di dalamnya. Bajunya memang tidak necis, tapi merknya setahuku ada brand internasional, begitupula sepatu yang dipakainya. Tasnya yang aku tahu memang brand lokal, namun jangan salah dengan hargnya. Itu setengah biaya kuliahku satu semester!
Memang repot jikalau rasa cinta sudah tergugah dari ruang kegelapan. Ia bagaikan kuda yang lepas dari pedati. Kabur, liar, sulit dikendalikan. Padahal aku sudah membatasi diri akan hasrat cinta yang kumiliki. Aku memagarinya dengan batasan yang tidak mampu kuraih. Batas itu diantaranya adalah batas ekonomi, sosial, dan fisik.
Tapi Rena, oh mengapa engkau sampai-sampai membuatku bukan saja melompati pagar yang susah payah kubangun, namun sekaligus menghancurkannya sampai rata dengan tanah.Â
Sapaanmu kala itu masih kuingat sampai saat ini, yang dari situlah hasrat cintaku padamu sukar sama sekali untuk dipadamkan. Tanganmu menunjuk-nunjuk ujung buku. Mata kecilmu menelisik pula dengan tajam. Kulihat juga bibirmu berkomat-kamit, nampaknya mambaca judul buku. Sampai kemudian engkau mungkin frustasi karena tak menemukan buku yang dicari. Engkau terunduk Rena. Ya, karena aku memperhatikanmu, sejak pertama kali kau masuk ke ruangan itu.
"Kok nggak ada ya" Katamu sambil menampakan ekspresi terheran-heran. Aku sejenak diam dan berpikir "Dia nyari buku apaan sih? Kasian juga". Tapi, jujur aku tidak sama sekali berani untuk membantumu. Aku malu. Walau membantu adalah sebuah kebaikan. Entahlah aku malu. Seperti ada dua kutub yang sama kuat saling tarik menarik untukku memilih keputusan mana yang harus kupilih. Membantumu atau diam memperhatikanmu.