Persoalan bimbang itu dirasai setiap insan. Keragu-raguan terkadang datang menjadi teman yang tidak diharapkan. Ia datang tanpa permisi, tiba-tiba saja sudah bercokol di depan pintu. Mengetuk, pelan namun pasti. Meski tertutup rapat sekalipun, ia akan tetap coba berusaha masuk. Meskipun lama, meskipun harus menunggu.
Tatkala begitu, ketidakjelasanlah yang lalu membebani pikiran. Antara harus menyambut tamu bernama kebimbangan, atau harus malah bersembunyi semakin dalam, menghindari tamu gelap itu. Perasaaan tak karuan berkecamuk ganas di pikiran, bak ombak dan badai di tengah luasnya samudera. Begitu menakutkan, membahayakan.
Berada dalam pilihan yang dilematis memang menjemukkan. Memilih maju, riskan problema. Memilih mundur, rawan kecewa. Ujungnya jadi tak berujung, bercabang dua. Ekspektasi tinggi tersita kebimbangan. Rasa menggebu tergadai kesangsian. Ingin memiliki yang sulit dimiliki. Ingin bersama dengan yang berbeda.
Takaran diri sebagai kaum papa, buat asa jadi tersia. Buat angan jadi kenangan. Buat mau jadi ragu. Apalagi kultur budaya juga beri legitimasi. Kian persulit akselerasi kasta sosial. Jadi pembicaraan, jadi omongan. Tekan batin, menjauhi angan, batalkan keinginan.
Niat suci jadi dipendam akhirnya. Dipasrahkan pada keadaan. Isi hati dikubur kemudian. Merelakan pada situasi dan kondisi yang agaknya tak memungkinkan. Meski kecewa harus menjadi rekan dalam penderitaan, namun pilihannya cuma ada dua, merelakan atau memaksakan. Pilihan yang teramat sukar ditentukan. Menyiksa dan memilukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H