Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gonjang-ganjing, Tepatkah PPDB Sistem Zonasi Diterapkan Saat Ini?

2 Juli 2019   20:09 Diperbarui: 2 Juli 2019   20:23 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Detikcom/Isal Mawardi

Setelah sekian lama pendidikan tidak terdengar kabar rimbanya, kini isu ini justru menjadi perbincangan di khalayak ramai. Televisi dan berbagai surat kabar memberitakan masalah pendidikan yang satu ini. Betul, sistem zonasi menarik banyak perhatian masyarakat untuk menyaksikan, mengkaji, dan tidak sedikit pula yang mencacinya.

Sistem yang sudah diterapkan sekitar tiga tahun lalu ini sejak kemunculannya sendiri memang telah menuai banyak kontroversi. Problem utama yang disesalkan terutama oleh orang tua murid adalah hak mereka untuk memilih sekolah idaman menjadi kandas.

Pasalnya lewat sistem zonasi, lokasi sekolah anak akan diutamakan supaya dekat dengan rumahnya. Dalam aturannya sistem zonasi ini tidaklah menjadi jalur utama untuk masuk ke suatu sekolah, ada juga kuota bagi siswa berprestasi dan tidak mampu yang presentasenya lebih sedikit.

Alasan selanjutnya dari hilangnya kesempatan untuk memilih sekolah idaman karena terganjal zonasi adalah lunturnya semangat para siswa untuk belajar dan meraih nilai tinggi khususnya dalam ujian nasional. Hal ini lagi-lagi bermuara pada sistem zonasi, karena dampaknya banyak dari siswa menjadi malas belajar. Beberapa diantaranya mengatakan begini "Buat apa capek belajar ngejar nilai tinggi, nggak akan bisa kepake buat masuk sekolah favorit".

Tidak heran jika banyak orang tua murid yang lantas murka pada pemberlakuan sistem zonasi ini. Harapan mereka sebagai orang tua jelas menginginkan anaknya masuk ke sekolah dengan fasilitas yang mumpuni serta sudah dibuktikan dengan lulusan-lulusannya banyak yang sukses. Sebetulnya itu wajar-wajar saja ada dalam benak orang tua siswa.

Kemendikbud dalam kasus ini tentu mendapat pukulan telak sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kekisruhan yang sekarang terjadi. Beragam kritik pedas terhujam padanya. Banyak yang menilai bahwa sistem ini masih terlalu prematur untuk diterapkan. Masih perlu dipersiapkan hal-hal lain sebelum sistem zonasi dapat dengan mudah akhirnya diterima oleh masyarakat.

Satu hal yang membuat sistem ini dipandang terburu-buru diterapkan adalah karena tidak disesuaikan dengan kualitas tiap sekolah yang merata. Masih ada kesenjangan antara sekolah yang sudah di cap favorit dan sekolah kelas biasa. Baik itu dari segi pendidik, ekstrakurikuler maupun fasilitas penunjang lainnya. Maka tak heran stempel "prematur" disematkan pada sistem zonasi.

Pemerintah, dalam hal ini kemendikbud justru memberi alasan sebaliknya. Muhadjir Effendy selaku menteri mengatakan bahwa dengan penerapan sistem zonasi malahan kualitas pendidikan di suatu daerah itu akan ketahuan mana yang sudah bagus dan mana yang belum, dan dengan begitu pemerintah juga akan lebih mudah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di lokasi-lokasi yang masih rendah kualitasnya. Singkatnya dengan sistem ini diharapkan akan mampu memetakan dan menyamaratakan kualitas pendidikan.

Secara tujuan jelas sistem zonasi ini cukup futuristik. Mencoba menghilangkan era sekolah favorit dan coba menggantinya dengan kualitas semua sekolah sama. Namun dalam prakteknya tidak sedikit ditemukan banyak sekali kelemahan dan bahkan tindak kecurangan yang banyak kita baca seperti pemalsuan tempat tinggal dan SKTM.

Baiklah, saya akan tutup artikel ini dengan pertanyaan, benarkah sistem zonasi jika diterapkan "saat ini" akan membuat hilang cap sekolah favorit? Apakah tidak ada selain sistem zonasi? Bukankah ada sistem evaluasi kualitas pendidikan? Lalu mengapa hasil evaluasi itu tidak bisa membuat pemerintah memperbaiki dan menyamaratakan kualitas pendidikan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun