Selama kita masih berpijak diatas planet yang sama, selama purnama tetap hadir setelah terbenamnya cahaya sang surya, maka selama itu pulalah pembahasan menarik mengenai eksistensi manusia masih menjadi bahan refleksi dan diskusi yang pantang untuk dilewatkan. Hal ini masih berakar pada satu aliran  filsafat eksistensialisme Rene Descartes yang berbunyi "Aku Berpikir Maka Aku Ada".
Sekitar abad ke-17 Descartes pernah berkata demikian, namun dewasa ini ada hal yang lebih dianggap penting dalam upaya menunjukan eksistensi seorang manusia daripada sekedar berpikir, dan hal penting itu tak lain adalah budaya update.Â
Kalau dulu, sebagaimana dikatakan Descartes manusia dikatakan meng-ada itu karena kemampuan mendayagunakan akal, tentu pada zaman sekarang tidaklah cukup jika hanya sampai kesimpulan seperti itu.
Update adalah bentuk eksistensi masa kini. Betapa durhakanya saya jika tidak mengetengahkan masalah ini kepermukaan. Update tidak bisa kita pandang dengan stigma yang negatif saja seperti cari muka lah, cari perhatian lah, sombong lah, atau sekedar kode-kodean semata.Â
Lebih jauh, update adalah sebuah upaya dari seorang anak manusia untuk menunjukan eksistensinya, menjadi ajang pembuktian pada dunia bahwa "aku" adalah bagian dari penggerak roda peradaban dan secara sadar terlibat dalam setiap dinamika yang terjadi di dalamnya.
Di era post-tik-tok yang durjana ini, ihwal update seolah menjadi kebutuhan primer manusia dan menjadi gaya penyaluran akal budi manusia lewat berbagai macam simbol yang dapat di update semisal gambar, video, dan kata-kata.Â
Dari konten update kita secara sekilas dapat memberikan penialain mengenai perasaan hati dan pola pikir seseorang. Orang yang sering update mengenai quotes bernada roman terkadang membuat kita menjustifikasi bahwa orang tersebut tengah diterjang gelombang asmara.
Nyatanya memang psikologi sosial masyarakat berkata demikian. Publik mulai mengalami pergeseran makna dalam urusan menjustifikasi seseorang, dari yang dulunya dililhat dan dirasakan lewat interaksi dinamis, menjadi justifikasi satu arah, yaitu menjudge lewat postingan. Secara tidak langsung, hadirnya budaya update ini juga berdampak pada berkembangnya pola hidup masyarakat yang juga berubah.
Patut disadari pula bahwa update telah layak kita tasbihkan sebagai kebiasaan yang terbudidayakan secara masif. Buktinya hampir setiap orang yang mempunyai akun media sosial semisal Instagram, Facebook, Line, dan Whatsapp tak bisa dipisahkan dengan budaya update tatkala dihadapkan pada satu momen yang Instagramable atau updateable.
Dorongan dan hasrat yang menggebu-gebu untuk mengabadikan momen langka itu tidak bisa dinafikan pasti dirasakan oleh banyak orang. Lantas kemudian setelah hasil jepretan foto itu telah tesimpan dengan aman dalam memori, tahap selanjutnya yang kemudian menjadi dasar fundamen bagi keberlangsungan eksistensi anak cucu adam ini adalah tak lain dengan cara meng-Â updatenya.
Saya rasa ini bukanlah hal remeh temeh yang tak layak kita berikan sorotan. Update menjadi tolok ukur dari sebuah budaya baru di babak kehidupan manusia di era post-truth ini.Â