Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenihilan

19 Maret 2019   20:19 Diperbarui: 19 Maret 2019   20:40 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/12019

Berkelana di tengah rimba keputusasaan mendorong naluri pencarian kebermaknaan menjadi kalang kabut tak tentu arah. Biasnya tujuan akhir petualangan pantik kegamangan menterjemahkan peta panduan. Kelokan jalan yang membentang tertutup kegelapan, tersapu kekelaman. Tinggal muram yang nyata di pelupuk mata.

Intensitas serta gairah penemuan jati diri terperosok dalam kekosongan. Sampai terluka, cedera dan perlu pemulihan lama. Merangkak, merayap di sekitar lembah seraya mencari pegangan untuk bangkit, berharap bebas dari jurang keterasingan. Raga penuh noda, penuh luka, terasa amat pedih. Menghambat laju pembebasan.

Adaptasi dengan nyeri buat diri tak terlalu lama meringis. Luka sudah jadi kawan dalam ketertindasan. Namun lagi, kelamnya malam kerap hantui dan basmi semangat kembali pada titik terendah. Ia menghalangi kemunculan secercah kemungkinan penyelamatan. Mengisolasi ruang gerak, ruang ekspresi, membentenginya sampai balik kanan menjadi opsi satu-satunya yang tak dapat lagi dihindarkan.

Memberangus keinginan setiap insan menggelorakan suaranya, menggemakan antero semesta dengan kerisauannya. Meninabobokan pendengar dengan lantunan indoktrinasi yang syahdu. Melempar dogma sampai merekonstruksi pola di kepala. Memutarbalikan fakta dengan wacana. Menghimpit realita, menguburnya dalam-dalam. Ditimbun dengan sejuta kemunafikan, lalu dibeton untuk menutupi jejak bulusnya.

Untaian perombakan yang terancang rapih harus kembali hancur lebur oleh kuasa hegemoni. Enggan menanggapi keresahan, ogah menaungi cecaran, hingga kekerasan jadi alternatif pilihan, pengasingan kembali jadi idaman. Telaah kebatilan hadir lagi di bumi pertiwi. Kebangkitannya siap mencekam, menggerayangi dari ujung ke ujung. Mengintai dan mengawasi.

Satu dimensi coba ditutup dengan senyap. Merintangi sebuah konsep fundamental yang dianggap sebagai ancaman. Keleluasaan, demokratis, itu yang kini dikebiri. Ketakutannya semakin nyata dipancarkan, menjebloskan para martir pada kebuntuan. Membungkamnya dengan pemenjaraan, secara fisikal, secara sosial.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun