Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tentu memiliki peran vital sebagai salah satu pusat transfer ilmu dan transfer karakter. Sekolah adalah tempat dimana murid datang dengan membawa segenap pengetahuan awal yang dimilikinya untuk kemudian bertransformasi menjadi pengetahuan baru yang lebih luas dan mendalam. Belum lagi murid akan pula dibekali sejumlah ilmu yang  nantinya mengembangkan pribadinya sehingga lebih baik dari sebelumnya.
Tujuan luhur sekolah tentu menjadi capaian yang harus diraih guna menghasilkan sosok manusia yang berkualitas. Tinggi secara akal, dan kuat secara moral. Dalam menjalankan perannya, sekolah tentu perlu merubah pola pendidikannya yang oleh banyak pengamat dinilai telah keluar jalur, lepas dari hakikatnya.
Ivan Illich bahkan secara tegas mengatakan bahwa masyarakat perlu dibebaskan dari belenggu sekolah. Gugatan ini tidak begitu saja dilontarkan Illich tanpa alasan. Ia mengatakan bahwa sekolah telah jauh keluar dari peruntukannya sebagai wahana bagi murid untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya.
Sorotan Illich jelas mengarah kepada sosok guru yang dinilainya malah berperan sebagai penghambat kemajuan dan belajar siswa. Ini terjadi karena guru menjadi pemasung pemikiran siswa dengan bertindak ibarat dewa yang tidak boleh dibantah oleh murid, dan segala hal yang guru ucapkan haruslah dipatuhi dan dituruti. Dari hal inilah Illich menganalogikan sekolah seperti penjara, dan guru adalah sipirnya.
Layaknya sipir, tugas utama guru adalah mendisiplinkan murid, mengasingkan dari konteks sosialnya. Sejalan dengan Illich, Chu Diel juga menegaskan kesetujuannya tentang peran sekolah yang sama sekali sudah tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki murid. Chu Diel bahkan sampai mengeluarkan buku yang saya rasa amat menunjukan kejengkelan dengan instansi bernama sekolah dengan bukunya yang berjudul "Sekolah Dibubarkan Saja!"
Banyak kasus yang disebutkan dalam buku tersebut, diantaranya adalah kisah seorang anak yang mana ketika di sekolah ia amat kesulitan menerima materi pelajaran, tampak selalu murung di dalam kelas, sampai ia di cap sebagai murid yang bodoh dan susah diatur oleh para gurunya.Â
Namun sepulang sekolah, ia berubah drastis, ia menjadi anak yang sangat lihai dalam menggembala kerbau, berlarian dengan ceria, dan akrab dengan masyarakat di sekitarnya.
Nahas betul, ketika di sekolah keceriaannya seolah tercerabut, bakatnya tersita. Apalagi jika sudah masuk ke dalam kelas dan berhadapan dengan guru, ia sontak diam, seketika membisu.Â
Sekolah tidak mampu mengakomodasi bakatnya. Hal ini tentu tidak lepas dari tugas sekolah yang kini sudah amat diminimalisir oleh pemerintah dalam hal pembuatan dan pengembangan kurikulum.Â
Desentralisasi yang dulu banyak digaungkan agar pembelajaran di sekolah dapat berjalan secara lebih kontekstual nyatanya hanya terjadi pada ranah administrasi semata, sedangkan secara substansi tetap saja tersentralisasi.
Realita seperti itu yang kemudian menyebabkan banyak sekolah menerapkan pembelajaran yang jauh dari konteks para muridnya. Kurikulum tunggal yang berlaku secara nasional seolah menggeneralisasi kemampuan, bakat, minat, dan potensi setiap murid di semua penjuru nusantara sama. Padahal sejatinya sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia tentu memiliki banyak hal yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.