Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelaziman

26 Februari 2019   14:40 Diperbarui: 26 Februari 2019   16:27 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com/Herriest

Badai modernitas menggempur seantero bumi. Menggempur setiap sudut, setiap jengkal peradaban. Jangkauannya bagaikan tangan dewa, menyebar tanpa kecuali, merengkuh dunia dalam genggamannya, mencengkramnya hingga ke akarnya. Cabut pusaka, pisahkan budaya. Rubah bentuk warisan, ganti dengan yang lebih terbarukan.

Mentalitas budaya kini jauh dari seharusnya. Tercerabut dan terpinggirkan laku hidup kekinian. Pekerja tani tak lagi jadi idaman, layangan tak lagi jadi kesayangan, pentas pewayangan bukan lagi jadi dolanan. Semuanya terseret dalam derasnya ombak besar bernama kemajuan. Hilang tergulung kuasanya, sampai terjerambab ke dasar laut tanpa bisa bangkit melawan, memberontak, dan secara perlahan akhirnya mati kehabisan udara.

Mereka kalah saing, kalah banding. Satu per satu mulai gantung sepatu dari percaturan budaya lokal. Terlupakan, ditinggalkan. Yang bertahan jelas juga memprihatinkan. Hidup segan mati tak mau. Subyeknya kini beralih menuju dunia barunya. Meninggalkan beragam pepatah dan petuah dari nenek moyangya. Mencari penghidupan baru, membuka cakrawala budaya modern.

Ia lupakan warisan leluhurnya. Terbengkalai tanpa pernah merawatnya, hingga ditiap sisi rumah dipenuhi macam-macam rumput liar ia masih tak bergeming. Hingga lantai dan tembok tampak retak pun ia masih tak peduli. Barulah ia juga marah tatkala rumah reyot itu diaku tetangganya. Hanya sebegitu keperluannya. Memiliki tanpa mencintai, tanpa menyayangi.

Sungguh memiliki tanpa mencintai hambar rasanya. Apalagi kalau budaya yang dibegitukan, amat celaka. Rasa itu kabur karena tak punya kedekatan emosional, terlalu berjarak dengannya. Hal yang dulu disanjung, dijaga, kini bak botol bekas yang tak ada harganya. Kebiasaan lama adiluhung lagi luhur, tergeser budaya baru dari antah berantah, satu jenis kelaziman gaya baru.

Sayangnya cinta para pewaris ini berat sebelah adanya. Menghamba pada yang bukan sejarahnya, bukan bangsanya. Bertekuk lutut dibawah kekaisaran baru bernama globalisasi dan modernisasi. Gadaikan budaya sendiri, harga diri bangsa, bahkan secara sukarela, secara cuma-cuma. Betapa murah sejarah perjuangan kala diperjual belikan.

Seolah yang dari luar itu semuanya yakin lebih baik, seakan yang bukan dari sendiri sempurna adanya. Kenyataannya hidup haruslah saling mengisi ketidaksempurnaan. Menutupi kecacatan masing-masing pribadi, saling mencocokan, saling berkaitan. Mengadopsi kebaikan dengan mengabaikan keburukannya. Membentuk kelaziman baru yang tidak zalim.    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun