Terbuai dalam dekapan zona nyaman perlahan tapi pasti mengantarkan penghidupan kepada satu segmentasi gelap, terombang ambing dihantam kegetiran, diancam kengerian. Penolakan untuk berwawasan luas jadi basis utama pemikiran yang dangkal. Fatalisme telah kian lama menjangkit, merambah ke segala penjuru nusantara, meracuni gagasan -gagasan cemerlang untuk tunduk dan kemudian berputus asa.
Kreasi kian nyata direpresi. Inovasi secara gamblang dibatasi. Banyak ketakutan mengorbankan pembaharuan. Posisi enggan terakusisi, santai ogah tergadai. Semangat membara para pemuda, menentang beragam perkara, menuntut sejumlah pasal, secepat kilat dipadamkan, disemprot segudang retorika, diguyur rupa - rupa tekanan, hingga titik nyala api dalam hatinya sukses diredupkan.Â
Kemandekan pikiran tak lagi dapat terelakan. Kepalang basah, ia telah merambah ke segala penjuru nusantara, segala bentuk struktur sosial. Era baru penindasan telah terpampang nyata di pelupuk mata. Tapi anehnya, mengapa situasi krisis macam begini tidak mendapat respon antusias? Mayoritas tetap bersikap adem ayem saja, seolah hidupnya akan sentosa selamanya. Padahal gejolak penindasan harusnya dijadikan masalah sentral dalam laku hidup sosial yang berkeadilan.
Cukup ironis kenyataan pahit ini. Nampaknya banyak orang sudah kadung terhipnotis kenyamanannya masing - masing. Terjebak dalam hegemoni, membuat pikiran tersihir masuk ke dalam fase kesadaran magis. Terlelap oleh bayang - bayang kenikmatan, merdeka dari segala kesulitan, tanpa beban, hingga tak perlu sibuk mendayagunakan pemikiran.
Sekat pembatas akhirnya jua yang terjadi. Sosial beralih menjadi personal. Gotong royong sudah usang dimakan zaman. Memikirkan dan membela kepentingan sesama sudah dianggap terlalu buang - buang waktu. Situasi begini jelas nestapa bagi kaum papa. Minim harta guna membela, minim kuasa guna usaha.
Degradasi pola hidup berlangsung di mana-mana. Kalah cepat dengan kemajuan zaman, kalah moral dengan kehidupan sosial. Semuanya enggan berjalan, padahal yang lalu jelas sudah banyak yang tidak relevan, dan yang baru pun jelas banyak yang tidak sehaluan. Perjalanan harusnya memandang asas kesesuaian, dengan zaman dan dengan kebudayan, bahkan juga dengan kemanusiaan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H