Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keabsahan

21 Februari 2019   08:01 Diperbarui: 21 Februari 2019   08:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com/Noupload

Pilihan menjadi entitas yang bebas nilai dan bebas laku tidak mungkin akan menjadi realitas. Ganjalan dan hambatan berbagai perspektif siap memenjarakan pemikiran radikal cenderung utopis tadi. Untaian harapan berbaris rapih layaknya bentang pegunungan Himalaya hanya tinggalah harapan. Ia sekedar fiksi tanpa bukti, apalagi aksi.

Selain tergerus kejamakan, harapan juga pupus oleh keteraturan. Menghalau gerakan, bahkan pemikiran. Jangankan ucap argumentasi, imajinasi pun tertolak sejak sang otak hendak mulai mengeluarkan ide - ide nya. Keselarasan logika, ilmu dan teori juga tak bernilai guna. Hampa. Sejumlah data, sekian fakta, terbukti juga sia - sia.

Lelah ucap kausa, bosan ungkap dalih, namun hasilnya tetap saja minor. Setiap kata - kata yang keluar, derai peluh yang membasahi, luka yang menggores, seolah begitu gelap untuk dianggap sebagai usaha. Dunia mungkin memang sudah buta melihat, sudah lemah mengendus, bahkan sudah loyo bernalar, apalagi mencuatkan gagasan kreatif lagi inovatif. Prasangka buruk terlalu sering tersemat pada pembaharuan. Cap pemberontak tak jarang juga silih berganti datang menyapa.

Hakikat kesatuan menjadi ihwal mengerikan belakangan ini. Ia ditafsirkan sedemikian kerdilnya. Menganggap kemajemukan sebagai suatu realita yang menjemukkan. Sungguh mereka sepenuhnya telah menodai seraya memperkosa keniscayaan kemanusiaannya sendiri, bahwa ia adalah makhluk yang unik. Egoisme sudah kepalang basah, menyirami sekujur tubuh.

Kebaruan hidup, sekelumit rencana inovasi terkubur akibat keabsahan buta. Padahal ilmu manusia tidaklah abadi, tidak mutlak. Seiring berubahnya zaman, berubah jugalah ilmunya, bahkan adabnya. Asas relevansi patut dijadikan tuntunan dalam pergolakan peradaban. Celaka jika hanya stagnan pada keabsahan tunggal, apalagi sedangkal bikinan manusia.

 Metamorfosis adalah keniscayaan, sunatullah. Menolak transisi, transformasi sama saja menggali liang kubur sendiri. Terlumat waktu, tergulung zaman, tandas dari peradaban, dari keadaban. Paradigma progresif adalah jalan lain menuju pembebasan, lepas dari pengungkungan pengetahuan, pemasungan gagasan, luput dari status quo.

Sikap independen, berdikari, dan kritis jadi tonggak utama langkah pemerdekaan diri. Lolos dari jerat keabsahan kolot, usang, dan sudah berkarat itu, yang kiwari juga sudah mulai terdengar kicauan burung gagak, siap menjemputnya pulang ke alam baka. Betapa nista menjalani hidup tidak merdeka semacam itu. Binasa oleh keabsahan yang fana.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun