Berbekal secuil akal, menyaksikan realitas, menyelami setiap kelokan jalan, aku mencoba hidup walau kegamangan amat nyata mencabik - cabik, mengoyak nurani, membasmi nalar. Gemerlap kota, kerlap - kerlip bintang di langit tampak indah dibalik kelamnya malam. Menyandingi, melindungi aku dari kenistaan bernama sunyi.
Cahaya redup berpendar, cukup buram, cukup bias, namun cukup bagiku mencuatkan secercah harap. Memperantarai antara hidup dan mati. Kenyataan zaman kiwari tanpa menyandang suatu gelar serupa hampa, candala. Lalui fase sedemikian itu barang tentu ramai diiringi suka duka. Tapi fakta jua ungkap realita, aku bukan siapa - siapa.
Dalam belantara semesta aku ibarat remahan roti tanpa makna. Tak begitu penting eksistensinya. Jauh dari unsur fundamental kontruksi kompleksitas dunia. Minim kontribusi rancang masa depan, lepas dari percaturan global. Harapan memang mendabakan sebuah persemayaman yang nirmala. Namun lagi, aku terhalang tembok besar, menangkal gagasan, menyangkal ide.
Amat sulit menembus hegemoni diskriminatif macam begini. Pembatasan, pengasingan jadi primadona. Aku menjadi teralienasi dari peradaban. Ingin rasanya mendobrak status quo para pembesar, namun lagi dan lagi, seonggok pasir di jalan mustahil merontokkan kedigdayaan otoritas. Akhirnya semua lenyap, terjerat keheningannya sendiri.
Sekiranya aku patut sedikit bersyukur, saat ini era baru peradaban sudah tak sekejam dahulu. Bahkan ini adalah momentum dunia selangkah lagi mencapai titik kulminasi perjalanan hidupnya. Segala bentuk kebaruan hadir didalamnya, membawa inovasi dan segudang kreasi. Menebar harapan untuk membawa kemaslahatan bagi semuanya.
Gambaran itu amat terbayang jelas di kepala. Seolah semuanya akan nampak begitu memudahkan dan membahagiakan. Kesan primitif lepas, ciri kesengsaraan lebur. Sentosa. Aku menyambut era baru ini dengan sumringah, bahkan menawarkannya segelas limun untuk bersama merayakan kemerdekaan yang sejati. Awalnya!
Sedikit demi sedikit, aku ikut mengarungi dinamika era baru tersebut. Sedikit demi sedikit pula aku melihat kejanggalan mulai bermunculan. Entah bagaimana janji manis terbebas dari kesengsaraan itu malah makin sulit terwujud. Ketimpangan sosial nyatanya makin merajalela. Padahal beragam program berseliweran dimana - mana menawarkan janji, menjajakan harapan, bahkan katanya menjamin kebahagiaan.
Aku mulai menjadi ragu dengan kedatangan era baru ini. Bernarkah ini akan mengantarkan pada taraf perbaikan hidup bagi semua ? Atau hanya segelintir orang saja yang akan menikmatinya? Pertanyaan ini jelas menganggu dan mengaburkan kembali celah harapan akan anganku menggambarkan masa depan sejahtera.
Konsepsiku mulai berguguran perlahan tatkala melihat keterkaitan yang sepertinya memiliki kesinambungan dengan pertanyaanku tadi. Di satu sisi taraf perbaikan memang ada, namun tepat diseberangnya kontradiksi realitas itu nyata adanya. Hingga saat ini, kegamangan masih menyelimuti benakku, belum sampai akal memutuskan hasil olah pikirnya, waktu belum cukup, analisa belum mendalam. Hanya ada satu hipotesa, Muram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H