Bukan tanpa alasan, kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan edukasi dan kemampuan literasi teknologi/digital ternyata membawa dampak yang amat berbahaya.Â
Tentu jika adab anak-anak jika dibiarkan terus begitu saja akan membawa pada hal yang disebut sebagai pendewasaan dini. Seperti yang dikhawatirkan Neil Postman, bahwa teknologi jika tidak dibarengi edukasi akan membuat perilaku anak-anak menjadi seperti orang dewasa secara instan.
Memang sejak teknologi belum berkembang pun ada saja anak-anak setingkat SD yang berperilaku seperti kasus di atas, namun jelas itu tidak semasif sekarang di zaman teknologi bisa diakses secara leluasa.Â
Tidak elok, melihat realitas generasi muda, apalagi setingkat SD yang jika menurut Piaget masih berada di tahap operasional konkrit sudah melakukan hubungan asmara layaknya orang dewasa.
Dari kasus anak -anak yang sudah menjalin asmara ini, kelak muncullah satir yang sangat nahas namun faktanya memang benar, bunyinya "Anak Jepang cuma bisa bikin manusia buatan, lah anak Indonesia udah jago bikin manusia beneran". Hal kecil dengan membiarkan anak-anak melakukan hubungan asmara yang mana itu masih jauh dari kapasitasnya, akan berdampak dikemudian hari menjadi satu bentuk kelakuan yang lebih nahas lagi.
Ini sejalan dengan data BKKBN yang disadur oleh Okezone.com, menyebutkan bahwa pada tahun 2013 sebanyak 20,9 persen remaja Indonesia hamil di luar nikah. Tentu ini bukanlah angka yang sedikit.Â
Bahkan ini mengarah pada tindakan yang lebih tercela lagi. Seperti dilansir Tirto.id berdasarkan data BKKBN dan Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan UGM pada tahun 2016, menunjukan bahwa sebanyak 58 persen remaja putri yang hamil di luar nikah memilih melakukan aborsi.
Penelusuran iseng yang dilakukan di awal rupanya jika didalami lebih jauh rupanya membawa permasalahan ini kepada hal yang lebih pelik dan ironis lagi. Intinya adalah, perilaku anak yang menyelami hubungan asmara akan membawa dampak kelak di kemudian hari pada hal yang jauh lebih berbahaya.Â
Tentu dalam konteks anak-anak, peran vital untuk menjaganya dari pengaruh negatif penggunaan teknologi berada pada pundak tri-sentra pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Terutama keluarga sebagai sentral utama pendidikan bagi anak harusnya menjadi penyaring dan pembimbing bagi anak untuk mengembangkan karakter terpujinya. Apalagi di era perkembangan teknologi seperti sekarang ini, keluarga juga perlu menjadi model bagi anak sebagai masyarakat digital (digital citizenship) yang baik seraya mengajarkan pada anak, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh atau belum boleh dilakukan.
Lelah dengan semua fakta menyedihkan yang ditemui, lantas terpikir di kepala "Waduh, baru inget kalau ponakan juga punya akun medsos". Dari situ, suasana duduk di kursi jadi tidak nyaman, pun keringat dingin mulai terasa. Lantas pencarian akun media sosial keponakan saya pun akhirnya dimulai "Nah ketemu juga!"