....Setiap orang tua pasti bangga dengan anaknya yang mampu tampil lebih dari rata-rata orang sebayanya. Perasaan itu sempat menghinggapi kami orang tua Rey, ‘mubaligh’ kecil itu. Rasa sumringah itu singgah dalam hati, kalaupun tak diundang apa datang dengan sendirinya? Ketika kami bercerita dan ingin melihatnya tampil untuk dikagumi orang, rasa bangga itu perlahan menjalar mencari tempatnya berpijak di tepian hati yang mulai kelam oleh rasa pamer dan ria.
....Reynaldi namanya. Setahun setengah lalu; karena takut, malu dan merasa tidak berdaya telah membawanya masuk ke halaman pondok pesantren Al Falaq, di sebuah kabupaten nun jauh di sana. Kami harus melepasnya dengan sedih dan tetesan kristal di sudut mata, ketika meninggalkannya terpana di sana. Sibungsu kecil itu terpisah dan tinggalkan masa kecilnya, teman sekitarnya, pindah dari sekolah bahkan tak sempat pamitan dari teman sekelasnya. Hanya karena trauma dipalak dan diancam anak sebaya dia, kami harus mengamankan dan pindahkan dia ke sana.
.... Sehari dua kami setia menjenguknya, memantau dan memastikan apa dia sudah bisa menyesuaikan diri. Maklum, dia merasa sendirian berada di antara santri-santri lain yang sudah lebih dulu ada karena lebih awal mendaftar di sana. Dari cerita temannya kami sempat terenyuh, hari pertama itu usai shalat Magrib, Rey menangis sesenggukan di antara gumam zikir sesama santri. Mungkin ada rasa asing, terasing dan diasingkan ke situ, dari keluarga, dan teman sepergaulannya.
....Air mata yang sama pula sembab membasahi pipinya, setiap kali turun dari rumah kembali ke pesantren tiap perpulangan sekali dalam dua minggu. Pamit dan tinggalkan kami berempat, dua kakak, dan kami ibu bapaknya. Walau rasa berat namun harus rela melepaskannya pergi dari rumah inimerajut ilmu dunia akhirat dan mengenyamnya di pesantren sana.
....Sekarang jejaka kecil Rey tampil berdiri di depan jamaah tarawih. Tak nampak sifat pemalu dan takut , dia tampil dengan jati diri yang berbeda. Kami seakan tak kenal dan tak menemukan apa yang pernah kami punya dalam dirinya. Dia tampil berceramah dengan jumawa menunaikan tugas pesantren memberikan kuliah tujuh menit(kultum) dalam terawih di mesjid-mesjid selama bulan Ramadhan.
....Dalam beberapa kali awal kesempatan berceramah, saya bapaknya tidak sampai berani hadir. Bukan hanya tidak ingin kelihatan ria, membayangkan dia tampil pede (dari cerita dan rekaman video), saya tidak bisa menahan tawa sekaligus sungkan: berani-beraninya dia menguliahi orang-orang besar dan yang lebih tua dari dia.
. ...Ketika pertama kali orang lain menceritakan, mungkin terbayang oleh mereka ada rasa bangga akan muncul dari sikap saya. Yang ada ternyata diri ini hanya merasa tidak lebih sebagai orang tua. Ustad kecil Rey itu memang anak kami, tapi bukan kami yang membuatnya jadi seperti itu. Saya merasa tak punya andil, kecuali sebagai orang tua pernah cepat banting stir mengambil keputusan memindahkan dia ke sana. Tak lebih !
....Apa yang bisa dibanggakan dari kami orang tuanya?
....Sebuah system yang baik bahkan terbaik telah menghadirkan dan mempersembahkan kepada kami: Rey dengan pribadi dan potensi yang sudah jauh berbeda.
....Namun setelah mendengar tutur dari salah seorang ibu santri yang anaknya juga punya prestasi yang berbeda, bahwa anaknya tidak seberani Rey tampil berbicara di depan jamaah, barulah ada sedikit rasa bangga muncul. Anak saya itu berbeda lebih baik sedikit dari teman-teman sepesantrennya karena punya bakat dan potensi berceramah dalam dirinya. Apa karena bakat itu menurun dari saya, olehnya saya harus bangga punya andil di situ? Wallahu alam. Biarlah itu saja yang bisa membuat saya merasa bangga terhadapnya.
....Jadi kalau dari saya tidak mau terlalu berbangga seperti orang tua lain: termasuk ibunya Rey yang suka melakoni rasa itu, terserah kalau mamanya akan menunjuk anak yang sedang berceramah di depan itu dan berkata.
....“Mubaligh kecil itu anak saya !”
....Oleh : Rahman Wahyu ( Manusia Bisa Salah)
NB: Kadang timbul kelakar tanya dalam hati, anak ini dikasih makan dan mandi apa sampai berubah drastis seberani dan tidak malu-malu itu. Saya menemukan jawabnya: system dan aturan disiplin pesantren telah merubah mereka, yang sulit itu didapatkan di luar sana karena sebaik apa usaha sebuah sekolah sulit berpacu melebihi pengaruh buruk lingkungan luar sekolah. Dan santri pesantren ini diasramakan dari pengaruh luar itu.
Ada lagi yang terpenting, siraman rohani dan hidayahNya tak henti terlimpahkan kepada umatnya yang senantiasa berharap dan berdoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H