Dengan adanya Pandemi Covid 19 tahun 2020, jumlah pengguna internet semakin meningkat. Sampai dengan kuartal II tahun 2020, jumlah pengguna internet telah mencapai 196,7 juta jiwa atau 73, 7 persen dari penduduk Indonesia. Seiring dengan besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia, jumlah anak yang menggunakan internet juga semakin besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020 mengenai pengguna internet berdasarkan demografi menyebutkan  bahwa jumlah pengguna internet  dengan usia 0 sd 4 tahun sebesar 8,23  persen, usia 5 sd 9 tahun sebesar 8,24 persen,  usia 10 sd 14 tahun sebesar 8,31 persen.
Besarnya penggunaan internet pada usia balita hingga usia remaja menunjukkan potensi ketergantungan internet yang besar. Fenomena ini sangat mengkuatirkan, hingga WHO juga mengeluarkan pedoman screen time bagi anak anak pada tahun 2019. Â Pedoman tersebut menyebutkan, bahwa bayi hingga berusia 1 tahun tidak boleh terpapar layar elektronik. Sedangkan, untuk anak berusia 3 sampai dengan 5 tahun, tidak boleh melihat layar lebih dari satu jam. Menurut WHO, menghilangkan waktu bagi anak anak untuk bermain gawai akan menghasilkan generasi yang lebih sehat baik secara emosional maupun jasmani.
Ketergantungan yang besar terhadap gawai dan internet pada anak-anak, tidak lepas dari peranan orang tua. Dewasa ini, orang tua sering menjadikan gawai sebagai "pengasuh pengganti" ketika mereka mengerjakan aktivitas lainnya. Gawai atau gadget yang memiliki berbagai aplikasi yang menawarkan hiburan seperti youtube, game  ataupun media sosial seperti instagram dan TikTok mampu membuat bayi dan balita "anteng" ketika orang tuanya sedang sibuk melakukan aktivitas rumah tangga. Terjadinya interaksi yang saling menguntungkan antara orang tua, gawai dan anak menciptakan situasi yang nyaman, sehingga orang tua seringkali lengah bahkan kelupaan, pengenalan gawai yang memberikan berbagai fasilitas menyenangkan ini akan berdampak buruk bagi anak.
Pemberian akses dan pengenalan terhadap gawai yang terlalu cepat pada anak terutama pada waktu  masih berusia 0 hingga 12 bulan membuat bayi terbiasa dengan teknologi digital. Bayi tersebut itu bertumbuh menjadi balita digital yaitu anak-anak usia bawah lima tahun yang mahir menggunakan gawai. Balita ini mampu mengenali bahkan menghafal gambar atau symbol dari aplikasi yang digunakan, memainkan permainan sederhana, menginstall permainan maupun aplikasi bahkan membuka aplikasi yang ingin digunakan tanpa bantuan orang tua. Bahkan, saat ini balita yang belum bisa membaca dan menulis dengan mudah dapat mencari yang diinginkan melalui teknologi pencarian melalui suara atau "Google Voice Search".
Setelah balita mengenal gawai, dan menemukan berbagai aktivitas menyenangkan di dalam gawai maka akan timbul sebuah dorongan untuk meminta kembali untuk memainkan gawai. Dorongan adalah suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan. Maka jangan heran, ketika balita meminta kembali memainkan gawai akan menunjukkan sikap yang rewel dan tidak tenang sama seperti pada saat balita haus dan meminta diberi susu atau makanan.
Ketika balita kembali "rewel" terjadi kembali simbiosis mutualisme atau interaksi saling menguntungkan antara orang tua, anak dan gawai, sehingga orang tua kembali memberikan akses terhadap gawai, dan anak memainkan gawai. Dengan memainkan gawai tersebut balita dan anak anak menjadi tenang dan tidak rewel sehingga orang tua kembali beraktivitas seperti biasa. Â Hal itu terjadi berulang kali dan akhirnya membentuk sebuah kebiasaan. Â Kebiasaan memainkan gawai yang berlangsung terus menerus ini akan membentuk sebuah perilaku. Perilaku tidak dapat terjadi seketika melainkan karena adanya keberlangsungan aktivitas satu dengan lainnya yang terjadi terus menerus.
Tanpa disadari, perilaku memainkan gawai yang terjadi secara berulang perlahan mengganggu aktivitas rutin sehari-hari, seperti makan, mandi, tidur dan bermain. Hal ini dikarenakan intensitas penggunaan gawai yang semakin meningkat serta toleransi waktu penggunaan gawai yang semakin bertambah banyak. Terlebih lagi jika memainkan games  melalui gawai yang seringkali membuat anak kecanduan  atau addicted. Ketika anak telah mengalami kecanduan, maka susah mengontrol diri untuk berhenti melakukan hal yang disukai.  Sehingga  jika orang tua yang melarang untuk melakukan aktivitas yang disukainya maka anak tersebut akan menunjukkan perilaku marah, sedih atau agresif. Hal ini yang sekarang dikenal dengan "kecanduan gawai". Perilaku kecanduan gawai ini seringkali terlambat disadari oleh orang tua, sehingga berdampak buruk bagi anak.
Kecanduan gawai memberikan dampak yang buruk bagi seorang anak baik dari kesehatan jasmani maupun psikologis. Penggunaan gawai yang terlalu sering membuat anak jarang bergerak, beraktivitas dan bermain selayaknya anak anak biasa sehingga memicu terjadinya obesitas. Kemudian selain itu, efek radiasi yang dipancarkan oleh gawai juga dapat menimbulkan gangguan pada mata, seperti mata lelah, mata kering hingga gangguan penglihatan seperti rabun jauh. Adapun dampak psikologis yang ditimbulkan, antara lain sering merasa gelisah dan cemas jika jauh dari gawai, menunjukkan perilaku yang agresif ketika dilarang menggunakan gawai. Karena seringnya beriteraksi dengan gawai, membuat anak susah bersosialisasi dengan lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H