Mohon tunggu...
Rahma Nurhamidah
Rahma Nurhamidah Mohon Tunggu... Lainnya - ASN

asn

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Tingginya Pernikahan Dini, Nasib Generasi Emas Babel Terancam

4 September 2024   11:18 Diperbarui: 4 September 2024   11:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Miris tapi nyata, pernikahan dini bukanlah merupakan hal yang tabu bagi para remaja di Bangka Belitung. Dinas Pendidikan Bangka Belitung (Babel) mencatat jumlah anak putus sekolah pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2021  yang disebabkan oleh pernikahan dini adalah sebanyak 451 siswa (Dinas Pendidikan, 2021).  Selanjutnya, sepanjang Januari hingga pertengahan November 2022, terdapat enam kasus pernikahan dini yang tercatat di salah satu kecamatan di Pangkalpinang. Pernikahan dini tersebut didominasi oleh kasus hamil di luar perencanaan atau dikenal dengan istilah Married by Accident.

 Sangat disayangkan, remaja yang sejatinya merupakan generasi emas penyokong perekonomian Babel harus menjalani pernikahan dini dibandingkan mengenyam pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi. Padahal saat ini, Babel sedang memasuki era bonus demografi, yang didominasi oleh penduduk produktif. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2020 juga, sebagian besar penduduk Babel berada pada generasi Z (lahir tahun 1997-2012) dan generasi milenial (lahir tahun 1981-1996), yang merupakan usia produktif yang dapat menjadi peluang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi atau dikenal dengan istilah "generasi emas." Proporsi generasi Z dan generasi milenial masing-masing adalah sebesar 400.381 jiwa (27,50 persen) dan 393.664 jiwa (27,04 persen). Namun, bonus demografi yang dirasakan dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif, dapat tercapai jika diimbangi dengan kualitas penduduk baik dari sisi kesehatan, kecukupan gizi, pendidikan dan pelatihan serta kompetensi professional yang dimiliki. Lantas, apabila pernikahan dini tetap dibiarkan terus berlanjut dengan jumlah kasus yang berpeluang bertambah setiap tahunnya, bukankah akan menurunkan kualitas generasi emas saat ini? Selanjutnya, bagaimana dengan nasib generasi emas Babel tersebut yang terancam menjadi beban pembangunan ke depannya?

Pernikahan Dini Bangka Belitung Tertinggi Kelima Nasional

 Pada tahun 2020, kasus pernikahan dini Babel tercatat sebesar 18,76 persen dan merupakan tertinggi pertama secara nasional. Selanjutnya, kasus tersebut menurun menjadi 14,05 persen (BPS, 2022). Sebuah prestasi yang membanggakan, namun sangat disayangkan Babel masih mempertahankan posisinya dengan menempati posisi "angka pernikahan dini tertinggi kelima nasional." Berdasarkan data konsolidasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Babel, terdapat 779 penduduk berusia 0-18 tahun yang melakukan pernikahan dini sepanjang tahun 2021. Kontribusi jumlah penduduk perempuan lebih mendominasi dengan jumlah penduduk sebanyak 690 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki hanya mencapai 89 jiwa.

Dinas Pendidikan Bangka Belitung mencatat jumlah anak putus sekolah pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2021 sebanyak 2.348 siswa. Dalam hal ini, 451 siswa putus sekolah disebabkan pernikahan dini atau hamil di luar perencanaan (Dinas Pendidikan, 2021).  Sangat disayangkan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula angka putus sekolah, karena banyak remaja yang terpaksa melangsungkan pernikahan dini sebagai solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami.

Pernikahan Dini vs Tuntutan Masa Depan

Kualitas sumber daya manusia yang semakin membaik ke depannya menentukan profesi yang ditekuni. Selain keterampilan atau skill yang dimiliki, pendidikan merupakan wadah untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang baik dan layak dari segi penghasilan yang diperoleh. Oleh karena itu, seyogyanya para orangtua perlu menekankan akan pentingnya pendidikan kepada anak-anaknya.

Dengan pendidikan yang tinggi, harapannya pencari kerja akan mudah memperoleh lapangan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi pendidikan yang ditempuh. Namun, kenyataanya, saat ini banyak ditemukan pengangguran terdidik di Babel. Penduduk yang sudah menamatkan pendidikannya hingga SMA pada Agustus 2021 tercatat sebanyak 18.648 jiwa yang dikategorikan sebagai kelompok penduduk yang tidak punya pekerjaan dan tidak berusaha mencari pekerjaan atau dikenal dengan istilah "pengangguran terbuka." Bahkan, tercatat 4.025 dari 25.275 jiwa atau hanpir 20 persen penduduk yang sudah menamatkan pendidikannya hingga diploma, akademisi dan universitas masih tergolong ke dalam kelompok pengangguran terbuka (BPS, 2022). Faktanya, penduduk yang menamatkan pendidikan hingga jenjang SMA ataupun lebih tinggi masih berpeluang menjadi pengangguran. Lantas, bagaimana nasibnya apabila generasi emas tersebut tidak menamatkan pendidikannya hingga jenjang SMA dengan tuntutan persaingan dalam mencari lapangan pekerjaan yang semakin sulit?

Pernikahan dini sejatinya sama sekali tidak menguntungkan siapapun. Orangtua dini yang belum siap secara reproduksi dan pemahaman saat hamil berpeluang dapat menyebabkan stunting pada anak. Emosional anak yang belum stabil untuk menjalani pernikahan berpeluang meningkatkan perceraian dan menurunkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai dampak tidak langsung dari perceraian tersebut.  Dengan menurunnya kualitas SDM, tentunya mencari lapangan pekerjaan akan semakin sulit karena tidak adanya kompetensi yang menjadi tolak ukur untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang layak. Hal ini secara tidak langsung dapat meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.

Pernikahan dini yang terjadi saat ini mungkin tidak bisa serta merta langsung dihentikan. Namun, setidaknya kita dapat melakukan pencegahan agar kejadian tersebut tidak terus menerus berlanjut terjadi ke depannya. Pemerintah dan stakeholder terkait telah melakukan upaya untuk mencegah pernikahan dini diantaranya dengan melakukan penyuluhan dan sosialisasi terhadap para remaja  yang bersekolah untuk tidak melakukan pernikahan dini. Namun, sejatinya perkembangan karakter anak tidak dapat lepas dari peran orangtua. Harapannya, orangtua tidak hanya perlu membekali anak dengan pendidikan yang tinggi, tetapi juga diimbangi dengan ilmu agama sejak dini sehingga tidak terjebak dalam pergaulan bebas dan pernikahan dini. Dengan demikian, anak-anak dapat membekali diri dengan iman yang kuat serta dapat selektif dalam membatasi pergaulannya untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Semoga, pernikahan dini tidak menjadi ancaman namun permasalahan yang akan segera terasi bagi generasi emas Babel ke depannya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun