”Asli mana Bro?
“Bugis”
“Oh, Makassar dong ya?”
Saya haqqul yaqien, banyak perantau berdarah Bugis yang pernah terlibat dialog seperti di atas. Mungkin bukan hanya Bugis, orang Mandar atau bahkan Toraja sekalipun kerap 'dituduh' Makassar hanya karena berasal dari Sulawesi Selatan.
Tentu saja bukan salah yang bertanya juga. Tetapi mungkin memang sedari kecil, wawasan kebangsaan kita sedemikian sempitnya. Tak banyak yang tahu, terutama di tanah Jawa, kalau Bugis dan Makassar adalah dua suku yang berbeda sekalipun punya ikatan amat erat.
Orang Bugis tentu menolak dianggap orang Makassar begitu pula sebaliknya. Bahkan kalau ingin lebih dalam lagi, di Sulsel ada banyak sub etnik yang beragam dan tak cukup untuk dimasukkan dalam klasifikasi Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar.
Saya punya teman yang lahir di Luwu Timur. Kalau ditanya asli mana dia akan jawab orang Luwu. Oh Bugis ya? Bukan, katanya. Atau seperti orang Pattinjo yang dari segi bahasa lebih dekat ke Enrekang, tetapi secara administratif masuk wilayah Kabupaten Pinrang.
Tapi tentu saja ini bukan soal perlukah hal-hal itu diperdebatkan. Bahwa keberagaman seperti itu justru sangat indah, itu jauh lebih penting.
Hanya saja, entah kenapa saya merasa anggapan Bugis dan Makassar sama saja muncul karena wawasan kebangsaan tak terlalu mendapat porsi dalam pendidikan kita.
Sama halnya dengan anggapan orang Medan adalah Batak. Padahal tidak. Di Medan juga ada Melayu. Dan kalau tak salah, populasi orang Melayu malah jauh lebih banyak.
Tapi ada bagusnya juga. Kalau ada yang bertanya seperti itu, tiba-tiba saya merasa seperti duta budaya Sulsel. Dengan senang hati saya menjelaskan dan meluruskan pandangan si penanya. Dengan begitu dia menjadi paham dan bisa jadi bahan obrolan.