Mohon tunggu...
Abdul Rahman Patty
Abdul Rahman Patty Mohon Tunggu... -

Pedagang beras yang punya banyak waktu senggang. Melaporkan langsung dari sudut lapak pasar panjang, Kendari Sulawesi Tenggara, kembali ke studio Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Curhatan seorang pedagang

25 Mei 2016   19:30 Diperbarui: 25 Mei 2016   19:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesi pedagang mungkin adalah pekerjaan yang paling sering mendapatkan sorotan ketika harga-harga mulai naik tidak terkontrol. Senang juga ketika kami mendapatkan perhatian media dan pemerintah saat itu. Bagaimana tidak? Kapan lagi kami bisa mengeluarkan unek-unek kami sebagai Pedagang tradisional yang bergelut dengan pengelola pasar yang sewenang-wenang dengan tarif retribusinya, ancaman relokasi pemerintah daerah yang kian hari kian keras dengungannya, dan juga persaingan klasik dengan toko-toko modern yang selalu mengkampanyekan higienitas, gaya hidup konsumtif yang lebih berkelas, dan juga harga diskon yang setelah harga diskonnya dikurangi dengan 50% pun, harga yang kami pasarkan untuk produk yang sama masih lebih jauh lebih murah.

Yah.. walaupun beberapa keluhan terakhir jarang sekali dimuat di media, yang mana wartawan-wartawan itu sebenarnya hanya ingin mencari tahu fluktuasi harga barang-barang pokok di pasaran. Lalu menyerang pemerintah secara bertubi-tubi atas nama rakyat, hingga pemerintah terdesak, lalu melegalkan import dan menelpon beberapa tetangga untuk minta pertolongan. Beras dari Vietnam, Sapi dari Australia, yang jika sudah masuk ke pasaran, harganya tetap saja tinggi.

Solusi tradisional pemerintah yang paling arif dalam menghadapi modernisasi mafia dengan segudang intrik. Tampaknya para pemimpin kita di sana itu perlu sedikit rangsangan agar kebijakannya dapat lebih terarah. Sebagai pedagang yang kesehariannya hidup dengan teori ekonomi sederhana untung rugi, Kenaikan harga itu adalah saat dimana kami harus menambahkan modal lebih banyak untuk produk yang sama, lalu menyesuaikan harga harga dipasaran tanpa menaikkan selisih keuntungan sedikitpun. Jadi dari segala macam faktor yang menyebabkan harga-harga bahan pokok naik, kami juga hanyalah korban dari rantai distribusi barang yang sampai pada konsumen sekalian. 

Namun dari berita-berita yang muncul di media, terutama liputan harga di pasar tradisional, kami seolah-olah jadi pemeran antagonis dalam drama "lonjakan harga" tersebut. Inilah sedikit curahan hati yang kami ingin sampaikan. Bahwa kami pedagang kecil tidak pernah melakukan praktik-praktik mafia atau politik demi keuntungan pribadi bapak dan ibu sekalian. Tidak sering kami harus mendengar gerutu, keluhan, bahkan yang paling parah amarah dari ibu-ibu rumah tangga yang kadang terkejut dengan harga jual yang kami tawarkan ketika lonjakan terjadi. Lebih sakit lagi, kalau ujung-ujungnya para ibu rumah tangga yang kesal tadi itu tidak jadi beli. Sakit rasanya.

Untuk itu, mungkin sedikit masukan ini bisa dapat dibaca oleh para petinggi-petinggi kita di bidang perdagangan.
Segala sesuatu yang bersifat pengepul, harus dihentikan. Karena tidak sesuai demgan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Beli di petani dengan harga murah, lalu mendistribusikan ke pasar dengan harga jauh lebih tinggi. Inilah yang harus kita lawan bersama-sama, bagaimana para petani dapat memasarkan hasil pasarannya langsung ke sektor pasar tradisional tanpa harus singgah dulu ke para tengkulak-tengkulak itu. Fasilitasilah mereka, agar segala bahan-bahan pokok tersebut dapat lebih mudah didapatkan, tanpa harus mengikuti arus permainan harga para pemodal-pemodal besar itu.

Saya yakin, kalau para penimbun dan spekulan tersebut diberantas, tidak ada lagi wartawan yang harus dikirim ke pasar untuk mengikuti fluktuasi harga. Tidak ada lagi ibu-ibu rumah tangga yang marah-marah karena harga yang tidak tentu, dan yang lebih bahagia lagi, apabila mereka datang membelu dengan tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun