Munif Chatib, Seorang praktisi pendidikan, penulis berbagai buku-buku best seller dan pakar multiple Intelligence, bermaksud menghadiri sebuah workshop. Karena sudah terlanjur janjian, maka Ia pun mampir menjeput temannya, yang kebetulan adalah kepala sekolah di satu SMP.
Ketika sampai ditempat temannya iapun dipersialhkan menunggu sejenak di ruang kerjanya yang sangat nyaman. Tak lama kemudian munculah temannya. Mereka sempat terlibat ngobrol singkat, sesaat sebelum beranjak ke tempat workshop.
Sang kepala sekolah tersebut menceritakan betapa antusiasnya para pendaftar siswa baru pada sekolah SMP yang dipimpinnya. Bahkan saking membludaknya pendaftar, sehingga kelas 7 nya saja, langsung ful terbagai kedalam 3 ruangan.
Mendengar kabar gembira itu, Munif penasaran lalu bertanya: “Indikator apa yang kamu pakai dalam menentukan klasifikasi kelas mereka?” Dengan penuh antusias, temannyapun berkata:
§Kelas 7A, berisi siswa-siswi yang pandai
§Kelas 7B, berisi siswa-siwi yang biasa-biasa
§Kelas 7C, Berisi siswa-siswi yang paling lemahkognitifnya
Mendengar jawaban itu, sontak saja Munif terkejut. Dengan nada setengah bercanda iapun berkata, “Sobat, kamu telah melakukan malpraktek pendidikan, dalam bentuk ‘tracking’.”
Ya, Tracking tak lain adalah mengelompokkan sisiwa dalam sebuah sekolah berdasarkan kemampuan kognitifnya. Sehingga dalam satu kelas, ada ruang pintar, setengah pintar, lelet dan paling lelet.
Ironisnya, ini begitu banyak bisa di temui dimana-mana. Bahkan, terlebih-lebih pada mereka yang mengaku sekolah unggulan. Bahkan yang menyedihkan, disuatu kesempatan saya pernah iseng bertanya kepada seorang kepala sekolah. “Pak, bagaimana jika sekiranya ada anak yang bodoh masuk di sekolah bapak?”
Dengan jawaban seolah tanpa empati, sang oknum kepala sekolah ini pun berkata, “Ya, kita kan seleksi, kalau ada anak begitu kami tidak terima, kasihan citra akreditasi sekolah, nanti kan bisa berpengaruh dan menurunkan popularitas.” Oh.. my God.. Saya hanya bisa tersenyum tumpul sambil menggeleng-geleng kepala.
Tracking, memang bisa berdampak negatif secara psikologi, bila di tinjau dari berbagai aspek. Bahkan tidak saja negatif, tapi bahkan TIDAK MANUSIAWI, jika ditilik dari pisau analisis berbasis Multiple Intelligence. Mungkin atas dasar impeknya yang dahsyat itulah sehingga Munif Chatib berani menyebutnya dengan istila Malpraktik Pendidikan.
Sebenarnya, apakah tidak bisa orang melakukan pengelompokan ruangan? Tentu boleh-boleh saja. Tetapi bukan dengan cara men-tracking berdasarkan kemapuan IQ atau kognitifnya. Lalu dengan cara apa? Hmmm, Sabar..! terkait yang satu ini, saya akan jelaskan secara khusus di kesempatan lain.
Terima kasih Moga Manfaat
Praktisi Parenting dan Pemerhati Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H