[caption id="attachment_357169" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: http://www.biography.com"][/caption]
Bagaimanakah cara kita dalam keseharian mendidik anak, dan apa hasilnya? Cukupkah maksimal? Mari bandingkan dengan yang satu ini. Sebuah kisah sejarah yang pernah di tuturkan langsung olah seorang guru besar dunia, Dr. Arun Gandhi, yang merupakan cucu dari mendiang Mahatma Gandhi, Tentang bagaimana ia dididik dan di besarkan oleh orang tuanya. Dikutip dari buku Ayah Edy Punya Cerita. Mari kita simak…..
“Kala itu usia saya masih kira-kira 16 Tahun, dan tinggal bersama kedua orang tua, di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, Mahatma Gandhi. Kami tinggal disebuah perkebunan tebu, kira-kira 18 mil jauhnya dari kota Durban, Afrika Selatan.
Pada suatu hari, ayah meminta saya menemaninya kekota untuk suatu konferensi. Ibu pun menitpkan daftar panjang belanjaan, dan ayahpun memberi tugas untuk pergi memperbaiki mobil di bengkel. Setelah sampai di kota, ayah pun berkata, ‘Arun, Nanti jemput saya di sini yah, jam 5 sore, setelah itu kita sama-sama pulang.’
‘Baik Ayah, tepat jam lima sore saya sudah disini’ Jawab saya dengan penuh keyakinan. Setelah itu saya segera meluncur menyelesaikan pesan ibu. Sampai akhirnya tinggal satu pekerjaan tersisa, yaitu menunggu mobil selesai dari bengkel. Sambil menunggu mobil di perbaiki, sayapun pergi menonton film di bioskop.
Saking asyiknya nonton, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan 17.30, sedangkan saya janji jemput ayah 17.00. lansung saja saya melompat, dan bergegas menuju kebengkel, untuk ambil mobil. Akhirnya saya tiba hampir pukul 18.00
Dengan gelisa Ayah bertanya kepada saya. ‘Arun, mengapa kamu lambat menjemput Ayah?’ Saya sangat merasa bersalah dan malu untuk mengatakan kalau tadi lagi keasyikan nonton film, sehingga saya terpaksa bohong dengan berkata, ‘Maaf ayah… Tadi mobilnya belum selesai di perbaiki sehingga Arun harus menunggu.’
Ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah sudah terlebih dahulu menelpon bengkel mobil, sehingga ayah tahu kalau saya bohong. Kemudian wajah ayah tertunduk sedih. Sambil menatap saya Ayah pun berkata:
‘Arun, Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan saya, dalam mendidik dan membesarkan kamu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk bicara jujur sama Ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki saja, sambil merenungkan dimana letak kesalahannya’
Lalau dengan berpakaian dinas lengkap, ayah mulai berjalan kaki pulang kerumah, Padahal hari sudah gelap, jalanpun tidak rata. Saya tidak sampai hati meninggalkan ayah sendirian. Saya terus berusaha untuk menawari naik ke mobil, namun Ayah tetap bersikeras untuk jalan kaki.
Akhirnya saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakangnya. Dan tak terasa airmata saya menitik melihat penderitaan yang dialami beliau, hanya karena kebohongan bodoh, yang telah saya lakukan. Sungguh saya begitu menyesali segalanya,
Sejak saat itu, seumur hidup saya selalu berkata jujur kepada siapapun. Seringkali saya mengenang peristiwa itu dan saya terkesan. Seandainya Ayah menghukum saya seperti cara kebanyakan orang tua lain saat anaknya berbuat salah, dan saya menderita karena hukuman itu, mungkin hanya sedikit saja saya menyadari kesalahan saya.
Namun dengan suatu tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan Ayah, walaupun tanpa kekerasan justru lebih memiliki kekuatanluar biasa untuk bisa mengubah diri saya sepenuhnya. Saya selalu mengingat kejadian itu seperti baru kemarin”
Akhirnya, Kepada para orang tua dan guru, yuk kita sama-sama terus berbenah. Menjadi guru dan orang tua yang lebih berkualitas, agar kita bisa mendidik anak-anak kita menjadi orang besar dan luar biasa. Sebut saja sekaliber Mahatma Gandi. Ya, Mahatma Gandhi… Sang pejuang dan pendidik tanpa kekerasan.
Terima Kasih, Moga Manfaat
Praktisi Parenting dan Pemerhati Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H