TAK diragukan lagi jika (sebagian) Â orang Indonesia memang sangat kreatif, terutama dalam hal akal-akalan dan membengkok-bengkokkan aturan. Demi keuntungan dan kepentingan, suatu barang lama bisa disulap dan dipoles menjadi seolah-olah barang baru sehingga bisa dijual dengan harga baru pula.
Dalam dunia jual beli handphone, kita sering mendengar soal HP rekondisi. HP yang sebenarnya lama atau bahkan sudah agak rusak kondisinya, namun kemudian diakali dan diganti casing-nya sehingga seolah-olah jadi seperti HP baru kinyis-kinyis.
Begitu pula dalam acara televisi, kita pernah melihat beberapa program acara lama yang bermasalah, tapi kemudian bisa tayang lagi dengan nama yang sedikit berbeda. Padahal, isinya sama saja, tanpa ada perubahan signifikan. Saat acara Empat Mata yang dibawakan Tukul Arwana bermasalah dan disemprit KPI, selang beberapa pekan kemudian muncul acara Bukan Empat Mata, dengan konsep acara yang sama. Lalu ada pula sebuah acara infotainmet lebay yang terkenal dengan gaya bicara presenternya yang setajam silet, setelah dicekal kemudian tetap tayang dengan konsep yang sama, hanya beda namanya. Lalu masih ada acara Yuk Kita Sahur jadi Yuk Keep Smile, Dunia Lain jadi Masih Dunia Lain, dan masih banyak lainnya.
Dalam sepakbola kita saat ini, ada juga kompetisi yang (maaf kata) kesannya seperti rekondisi. Dulu sepakbola kita punya kompetisi Indonesia Super League (ISL) dan Divisi Utama, namun seiring dengan dibekukannya PSSI, kedua kompetisi itu tidak bisa digelar. Nah, meski pembekuan PSSI belum dicabut, apapun dilakukan agar kompetisi bisa tetap digelar.
Memang namanya tak lagi ISL dan Divisi Utama, tapi Indonesia Soccer Competition (ISC) A dan B. Tapi ya klub pesertanya sama, operatornya sama, wasit dan perangkat pertandingannya sama, aturan serta pembagian grupnya sama, dll. Penyelenggaranya, PT Gelora Trisula Semesta (GTS), juga diisi oleh orang-orang yang dulunya di PT Liga Indonesia. Bahkan sejak awal wacana ISC A dan B digelar pun sudah muncul isu, bahwa jika dalam perjalanan kompetisi ini nantinya pembekuan PSSI dicabut, kompetisi akan berubah jadi ISL dan Divisi Utama.
Namun apapun itu namanya, kompetisi tetaplah sebuah hal yang positif. Mulai akhir pekan ini (ISC A kick off tanggal 29 April dan ISC B kick off pada 30 April), persada Nusantara dibuat hingar-bingar lagi lewat kemeriahan kompetisi sepakbola tingkat nasional. Pemain dapat kontrak dan gajian lagi, pengasong dan tukang parkir dadakan di stadion siap-siap bekerja lagi, kita suporter dan penikmat sepakbola pun bisa nonton bola lagi di stadion.
Itu artinya, hal-hal yang rekondisi tak selalu bermakna negatif. Dan meski ini kompetisi rekondisi, kita semua tentunya tetap menginginkan pertandingan menarik bin berkualitas. Guna mewujudkan hal itu, memang dibutuhkan kesadaran semua pihak yang terlibat. Inti persoalannya adalah, jangan sampai kita terbius oleh ambisi sesaat, sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.
Tak apalah, ada perbedaan kualitas yang mencolok setiap kali membandingkan tayangan langsung televisi, antara kompetisi sepakbola kita ini dengan liga-liga di Eropa. Asal saja tidak ada lagi pemandangan memalukan, seperti tawur antarpemain, aksi lempar berbagai benda ke tengah lapangan, apalagi wasit dikejar-kejar pemain dan penonton lantas dipukuli layaknya seorang maling. Di tingkat para elite, kisruh sepakbola antara PSSI dan Kemenpora juga tetap terus diusahakan agar segera menemui titik temu. Jadi kompetisi berjalan sesuai fungsinya, yaitu menentukan klub yang akan mewakili Indonesia di tingkat Asia serta membentuk tim nasional yang bisa berlaga di tingkat internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H