Sebelum saya memulai tulisan ini, saya ingin tegaskan bahwa tulisan ini saya paparkan berdasarkan fakta dan data resmi dari lembaga kementerian keuangan Republik Indonesia, tanpa sedikitpun motif kampanye menjelang pilpres 2019. Semoga bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Sejak masa kepemimpinan presiden R.I. ke 7, Jokowi. kita telah melihat banyak perbedaan pola kebijakan fiskal dengan kebijakan fiskal yang diambil oleh SBY, presiden R.I. sebelumnya. Jika kita melihat data postur APBN kita tahun 2014 yang dimuat kementerian keuangan, SBY mengalokasikan anggaran subsidi energi dengan porsi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Jokowi.
Kebijakan SBY sedikit mengarah pada aspek moneter, karena subsidi energi tentunya mempengaruhi harga kebutuhan primer dan menjaga stabilitas belanja rumah tangga, sehingga mempermudah kontrol terhadap peredaran uang.Â
Sementara kebijakan fiskal di era kepemimpinan Jokowi terlihat jauh berbeda. Jokowi berani mengambil resiko dengan memangkas alokasi anggaran subsidi energi dari periode sebelumnya. Jika dibandingkan dengan masa akhir SBY di tahun 2014. Dimana alokasi anggaran subsidi energi sebesar Rp. 350 Triliun, Sedangkan di tahun 2017 Jokowi hanya mengalokasikan Rp. 77 Triliun dari APBN.
Jika dilihat besaran kedua anggaran itu, Maka kita akan dapatkan sebuah disparitas yang cukup jauh hingga mencapai 78% dari jumlah alokasi subsidi ditahun 2014 ke 2017. Pemangkasan itu  menambah pengalokasian anggaran infrastruktur hingga mencapai 117%, peningkatan anggaran kesehatan sebesar 52% dan peningkatan 10,6% pada sektor pendidikan jika dibandingkan dengan pos anggaran pada APBN 2014.
Kebijakan infrastruktur memang bukan bagian dari Exogenous growth  model  atau  Solow  growth  model, sebuah teori pertumbuhan ekonomi yang hanya menitikberatkan pada perubahan faktor produksi modal fisik, yaitu investasi, tabungan, & pertumbuhan populasi tenaga kerja. Namun saat ini pembangunan infrastruktur & teknologi adalah bagian penting yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Memang di sisi lain, angka pendapatan negara dari pos Pendapatan Negara Bukan Pajak menurun sejak kebijakan fiskal tersebut dijalankan. Dari capaian 25,7% di tahun 2014 ke angka 17% di tahun 2015, dan merosot menjadi 13,7% pada APBNP 2016.
Namun trend postif pada postur APBN TA 2017 telah menunjukan efek peningkatan PNBP yang membaik di angka 14,3%, sehingga bersamaan dengan penyelesaian proyek pembangunan infrastruktur nasional di tahun 2018 & 2019 dapat memicu pendapatan negara dari sektor non-pajak.
Kita bisa simpulkan, banyaknya pihak yang mengkritik kebijakan fiskal Jokowi. Adalah bagian dari resiko yang telah diambil, ini dikarenakan keberanian Jokowi terhadap pemangkasan alokasi anggaran subsidi energi ke post anggaran lainnya. Kebijakan fiskal Jokowi sama sekali tidak identik dengan kebijakan moneter.
Namun tentu saja pembangunan infrastruktur baru, bisa menjadi stimulus peningkatan purchasing power parity sehingga secara signifikan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Jokowi, Citranya terpangkas bersamaan dengan dipangkasnya subsidi energi, namun suatu saat ia akan dikenang bersamaan dengan selesainya pembangunan infrastruktur nasional.
31 Agustus 2018