Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
Aku Ini Binatang Jalang merupakan buku yang berisi kumpulan puisi yang dibuat oleh penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Tak hanya kumpulan puisi, buku tersebut juga terdapat kumpulan surat yang dikirim Chairil Anwar kepada H.B Jassin, kritikus sastra yang turut membesarkan nama Chairil Anwar dalam dunia sastra Indonesia. Â
Buku tersebut menghimpun karya-karya puisi Chairil Anwar tersebar di berbagai buku, seperti dalam Deru Campur Debu (DCD), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (KT), Tiga Menguak Takdir (TMT), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang.
Karya-karya Chairil dalam koleksi ini disusun menyesuaikan sistematika Jassin: sajak-sajak disusun secara kronologis. Hal itu diharapkan membuat pembaca dapat melihat perkembangan sajak-sajak Chairil Anwar dari awal hingga akhir.
Chairil Anwar: Hidup Singkat untuk Puisi yang Abadi
Chairil Anwar dikenal sebagai sastrawan pelopor Angkatan 45 melalui puisi-puisinya yang  begitu kritis dan penuh dengan makna tersirat. Dari larik-larik yang terdapat pada setiap puisi Chairil Anwar sangat jelas menggambarkan vitalitas dan sisi lain kehidupannya yang tergambar yang mungkin tidak bisa terhapus dari kehidupan berkesenian di negeri ini, yakni kejalangannya.Â
Sebagai 'Binatang Jalang"-lah Chairil Anwar merupakan lambang kesenimanan di Indonesia. Â Bukan Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah tetapi Chairil Anwar yang dianggap memiliki seperangkat ciri seniman: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.Â
Sejumlah anekdot telah lahir dari ciri ciri tersebut. Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda oleh khayalannya; mungkin yang paling mirip dengan golongan "binatang jalang" ini adalah orang sakit jiwa.
Sapardi Djoko Damono dalam penutup buku ini menjelaskan anekdot dan penggambaran itu membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam masyarakat Indonesia.Â
"Ia dikagumi sekaligus diejek; Ia menjengkelkan, tetapi selalu dimaafkan. Keinginan untuk menjalani hidup dengan cara tersendiri itulah, yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum yang menyebabkan Kebanyakan orang sulit memahami sikapnya."Â