Mohon tunggu...
Rahmaniar Fauziyyah
Rahmaniar Fauziyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Saya memiliki minat dalam bidang ilmu pengetahuan sosial khususnya dalam bidang sejarah. Saya merupakan seseorang yang berjiwa ekstrovert dan dengan mudah beradaptasi di tempat atau suasana yang baru. Saya juga sangat suka mencoba suatu hal yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Readines, Konsep Kematangan dan Teori-Teori Belajar

22 Desember 2024   20:15 Diperbarui: 22 Desember 2024   20:14 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kesiapan belajar atau readiness merupakan kondisi fisik dan mental seseorang yang telah siap untuk melakukan aktivitas belajar. Menurut para ahli, kesiapan belajar ini mencakup kondisi tubuh yang sehat, mental yang baik, serta lingkungan yang mendukung. Ketika seseorang dalam keadaan siap belajar, mereka akan lebih mudah menerima, memproses, dan mengingat informasi baru. Dengan kata lain, kesiapan belajar adalah fondasi penting bagi keberhasilan dalam proses pembelajaran. Kondisi fisik dan mental yang prima serta lingkungan yang kondusif akan membantu individu mencapai hasil belajar yang optimal.

Teori belajar behavioristik adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada perubahan perilaku yang dapat diamati. Teori ini memandang belajar sebagai hasil dari interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respons (tanggapan). Perubahan perilaku ini dapat dibentuk melalui pengkondisian, baik itu pengkondisian klasik seperti yang dikemukakan oleh Pavlov (di mana respon tidak sadar dikaitkan dengan stimulus tertentu) maupun pengondisian operan seperti yang dikemukakan oleh Skinner (di mana perilaku diperkuat melalui hadiah atau hukuman). Teori ini menekankan pentingnya pengamatan langsung terhadap perilaku dan mengukur perubahan perilaku sebagai indikator keberhasilan pembelajaran. Prinsip dasar teori ini adalah belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan perubahan perilaku dapat dicapai melalui pengulangan dan penguatan.

Ivan Pavlov, seorang ilmuwan Rusia, terkenal dengan eksperimennya mengenai pengkondisian klasik (classical conditioning). Dalam eksperimennya dengan anjing, Pavlov menunjukkan bahwa anjing dapat dilatih untuk mengaitkan sebuah stimulus netral (seperti bunyi bel) dengan stimulus yang secara alami memicu respons (seperti makanan). Melalui pengulangan pasangan stimulus ini, anjing akhirnya akan merespon stimulus netral seolah-olah itu adalah stimulus asli. Prinsip ini kemudian diterapkan dalam pembelajaran manusia, di mana stimulus netral (misalnya, tugas matematika) dapat dikaitkan dengan stimulus yang menyenangkan (misalnya, hadiah) untuk meningkatkan motivasi belajar. Namun, jika penguatan (hadiah) dihentikan, respons yang telah terbentuk dapat menghilang, sebuah fenomena yang disebut kepunahan (extinction). Teori Pavlov ini memberikan dasar penting dalam memahami bagaimana kita dapat membentuk dan mengubah perilaku melalui asosiasi antara stimulus dan respons.

Teori konektivisme menawarkan sebuah paradigma pembelajaran yang relevan dengan era digital. Teori ini menekankan bahwa pembelajaran tidak terbatas pada ruang kelas, melainkan terjadi melalui jaringan koneksi yang luas, melibatkan berbagai sumber informasi, dan mendorong pembelajar untuk aktif membangun pengetahuannya sendiri. Dengan memanfaatkan teknologi, seperti MOOCs, pembelajaran menjadi lebih fleksibel dan terbuka bagi siapa saja. Keterampilan kritis seperti evaluasi informasi dan kolaborasi menjadi sangat penting dalam model pembelajaran ini, yang menekankan pada pentingnya koneksi, relevansi, dan pembelajaran sepanjang hayat.

Teori belajar humanistik menempatkan individu sebagai pusat pembelajaran, menekankan pada pertumbuhan pribadi dan potensi setiap orang. Proses belajar tidak hanya tentang mencapai hasil akhir, namun lebih pada pengalaman belajar yang bermakna. Teori ini mendorong peserta didik untuk aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, dengan fokus pada aspek emosional, spiritual, dan intelektual secara holistik. Pembelajaran yang berpusat pada manusia ini bertujuan untuk membantu individu mencapai aktualisasi diri dan memahami lingkungan sekitarnya. Dengan memberikan kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan potensi, teori humanistik menciptakan lingkungan belajar yang lebih relevan dan bermakna bagi setiap peserta didik.

Arthur Combs, seorang tokoh psikologi humanistik, menekankan pentingnya memahami dunia peserta didik dari sudut pandangnya. Menurut Combs, pembelajaran yang bermakna terjadi ketika peserta didik dapat menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman dan konsep diri mereka. Konsep "meaning" atau kebermaknaan ini menjadi kunci dalam proses pembelajaran. Combs juga menyoroti pentingnya peran guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan menarik, sehingga peserta didik merasa termotivasi untuk belajar. Selain itu, Combs mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi potensi belajar peserta didik, seperti keterbatasan fisik, kesempatan, kebutuhan manusia, konsep diri, dan ancaman.

Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik lainnya, terkenal dengan teori hirarki kebutuhannya. Teori ini menjelaskan bahwa manusia memiliki berbagai tingkatan kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan aktualisasi diri. Maslow berpendapat bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini secara berurutan. Implikasi teori Maslow dalam pendidikan sangat signifikan. Guru perlu memahami bahwa sebelum siswa dapat fokus pada pembelajaran, kebutuhan dasar mereka seperti rasa aman, rasa diterima, dan penghargaan harus terpenuhi terlebih dahulu. Dengan memahami hirarki kebutuhan Maslow, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan holistik siswa, baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Teori belajar Carl Rogers menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan individu, dan motivasi intrinsik dalam pembelajaran. Dalam pendekatan ini, guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan memberdayakan siswa. Siswa didorong untuk menjadi pelaku aktif dalam proses belajar mereka, dengan mengembangkan konsep diri yang positif dan rasa percaya diri. Fokus utama teori ini adalah pada proses pembelajaran daripada hasil akhir, sehingga siswa memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi dan belajar dengan cara mereka sendiri. Implikasi dari teori ini dalam pembelajaran adalah menciptakan suasana yang kondusif untuk pertumbuhan pribadi siswa, di mana mereka dapat mengembangkan potensi diri secara optimal. Guru berperan sebagai pembimbing yang membantu siswa menemukan makna dalam pembelajaran dan mendorong mereka untuk menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun