Mohon tunggu...
Rahman Hanifan
Rahman Hanifan Mohon Tunggu... -

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum di SDIT Buah Hati. Telah menulis cukup banyak buku, seperti Change Now!, True Friend, UNLIMITED LEARNING, Journey of Life, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terlalu Ingin, Terlalu!

5 November 2015   12:00 Diperbarui: 5 November 2015   12:25 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah aku punya keinginan untuk menulis buku, lalu menerbitkannya. Ya, jadi penulis. Alhamdulillah, keinginanku terkabul. Beberarapa buku terbit dengan nama penaku tertulis pada covernya. Meski sudah cukup lama aku tak menerbitkan buku, setidaknya aku masih menulis.

Kebutuhan online makin banyak, maka punya jaringan internet di rumah pun jadi keinginan. Alhamdulillah, sekarang ada hotspot menyala 24 jam. Relatif lancar. Youtuban bisa setiap saat apalah lagi sekedar FBan. Ah, internet kok cuma buat Youtuban dan FBan!

Lalu pernah punya keinginan punya usaha. Aku dan istri nekad nerima pesanan bikin gamis, kaos dan sebagainya. Alhamdulillah, sempat dapat cukup banyak pesanan dari kawan-kawan lama, juga kawan baru. Kini usaha itu macet, cet, subhanallah…

Lihat foto-foto keren di internet, jadi pengen belajar fotografi. Sampai kini belum punya modal untuk beli DSLR, maka bermodal kamera HP dan lensa, aku pun jeprat-jepret. Kurang lensa yang sesuau, lensa di penggaris anak-anak pun kepake. Cukup puas juga sih dengan hasil jepretan-jepretan sendiri. Minimal buat wallpaper di HP, asyik juga.

Lihat temen-temen pada goes. Sepertinya asyik, bisa ke sana ke mari, menikmati berbagai suasana sambil jeprat-jepret. Lalu pengen juga punya sepeda gunung. Alhamdulillah, pada akhirnya bisa beli, meski cari harga yang ringan di kantong, kata lain dari semurah-murahnya. Lumayan, Phoenix merahku yang murah itu bisa kok buat goes. Sayang, waktu yang tersedia tak cukup banyak. Ini sudah agak lama gak punya kesempatan ngegoes.

Di perumahan ada lapangan tenis meja. Eh, ternyata ada masternya. Pemain sungguhan. Jadi pengen serius belajar. Aku beli bat pimpong. Meski seharga 119 ribu, buat nyepin bisa banter bolanya, tentu kalo tepat mukulnya. Kemampuanku main pimpong mending juga, meski belum mahir, setidaknya banyak peningkatan, gak sekedar namplek bola aja.

Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, masyaAllah, ternyata banyak keinginanku yang telah terpenuhi, mimpi yang jadi nyata, meski dengan porsi yang lebih kecil dari keinginan sesungguhnya. Aku mesti bersyukur, dengan syukur yang melimpah, meski takkan mungkin menandingi limpahan karunia Allah yang luar biasa.

Tentu saja, masih banyak keinginanku lainnya. Ingin ingin ingin ini itu banyak sekali. Dan aku tahu, di antara keinginan-keinginan itu, ada yang tak mungkin kuraih. Dengan kata lain, aku tak punya kelayakan untuk mengingini hal-hal demikian. Keinginan terlalu tinggi, terlalu absurd atau malah terlalu nggak jelas. Meski dengan kuasa Allah, semua itu mudah saja terjadi.

Betul, mimpi harus membumbung. Tak boleh kita berhenti bermimpi. Sebab kesuksesan-kesuksesan besar berawal dari mimpi-mimpi. Sebab Allah rupanya banyak membantu para pemimpi. Sesiapa saja yang berusaha mewujudkan mimpinya dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi punya keinginan yang terlalu…, bukan pula hal positif. Sebab yang ‘terlalu’ selalu memiliki sisi negatif. Terlalu pelan bisa terlambat, terlalu cepat bisa nabrak. Terlalu sulit mendatangkan keluhan, sementara terlalu mudah melenakan. Terlalu lesu menghambat karya, terlalu semangat bisa lupa diri. Pun terlalu terlalu lainnya. Maka memiliki keinginan yang terlalu, adalah hal terlalu pula.

Di sini kita perlu belajar, untuk menengok diri, adakah keinginan-keinginan kita terlalu? Lalu ketika menemukan bahwa keinginan-keinginan tertentu tak layak dimiliki, perlu pula latihan bersabar untuk melupakannya. Jangan biarkan keinginan yang terlalu membuat kita TERLALU.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun