Mohon tunggu...
Rahman Hakim
Rahman Hakim Mohon Tunggu... -

Warga Negara Yang Ingin Baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku, Inspirasiku

22 Desember 2013   22:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1387724270859301573

Sampai di penghujung malam hari ini, aku masih tak ingin meletakkan penaku untuk terus menuliskan betapa besar perjuangan seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan keempat putranya. Pada usia pernikahannya yang baru akan menginjak tahun ke-14, ia kehilangan suaminya yang wafat akibat serangan jantung. Saat itu putra pertamanya masih duduk di kelas tiga Madrasah Tsanawiyah di salah satu pondok pesantren modern, dan putra bungsunya baru berusia dua tahun.

Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu rumah tangga biasa untuk membesarkan empat orang putra, apatah lagi sampai harus membiayai pendidikan mereka. Segala usaha ia lakukan, mulai dari berdagang sembako dengan modal yang sangat kecil bahkan tidak jarang ia memutuskan untuk mencari pinjaman uang ke beberapa pihak. Semua itu ia lakukan demi putra-putra yang sangat dicintinya.

Di tahun ke-2 sejak ditinggal suami tercintanya, ia sempat mempercayai salah satu keluarganya di luar kota untuk mengasuh dan membiayi pendidikan salah satu putranya, namun itu hanya bertahan dua tahun. Setelah itu ia lebih memilih untuk berjuang sendiri dalam membesarkan putra-putranya karena menurutnya itulah yang terbaik.

Sampailah pada suatu saat ia harus membiayai putra pertamanya menjalani proses pendidikan di perguruan tinggi, dan disusul oleh putra ke-duanya di tahun berikutnya. Hal ini tentu membuat hidupnya semakin tidak mudah.Ia harus memikirkan biaya sewa kost, uang makan, dan biaya kuliah dua putranya itu setiap bulan. Belum lagi dua putranya yang masih duduk di bangku sekolah.

Kisah ini kututup sampai ia berhasil menghantarkan putra pertamanya menyandang gelar Sarjana Pendidikan sebagaimana harapan sang suami tercinta yang telah tiada. Ini bukan akhir perjuangannya, ini bukan puncak dari usaha yang ia lakukan. Ini hanya sebagian kecil dari sisi hidupnya yang begitu menginspirasi dan membuatku bangga. Ia adalah ibuku tercinta yang saat ini sedang sakit, namun aku tak bisa untuk berada di sisinya. Aku sangat mencintainya, tak bisa aku bila harus kehilangannya. Lekas sembuh ibuku tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun