Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kekayaan laut yang luar biasa. Dengan wilayah perairan yang lebih luas dibandingkan daratannya, Indonesia memiliki sumber daya bawah laut yang melimpah. Potensi ini menjadi penggerak utama perekonomian masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2019 Indonesia berada di peringkat kedelapan dunia dalam sektor perikanan, dengan nilai produk mencapai USD 152 miliar. Selain hasil perikanan, kekayaan laut Indonesia juga mencakup sumber daya minyak bumi dari pengeboran lepas pantai. Data SKK Migas pada 2021 mencatat sebanyak 634 pengeboran minyak lepas pantai, yang semakin menambah nilai ekonomis kelautan Indonesia.
Namun, pengelolaan kekayaan laut Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius. Banyak praktik eksploitasi yang tidak berkelanjutan, seperti penggunaan alat setrum dan bom beracun (destructive fishing), yang merusak ekosistem bawah laut. Selain itu, pencemaran laut oleh sampah, terutama plastik, turut membahayakan keberlanjutan ekosistem laut dan kehidupan manusia.
Destructive Fishing dan Dampaknya
Praktik destructive fishing dilakukan oleh sebagian nelayan dengan tujuan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dalam waktu singkat. Alat seperti bom beracun dan setrum digunakan untuk menangkap ikan, tetapi dampaknya sangat merusak. Penggunaan bom beracun, yang mengandung kalium sianida, dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang serta membunuh benih ikan. Selain itu, racun yang tersisa dalam hasil tangkapan dapat membahayakan konsumen. Bila terpapar dalam kadar tinggi, kalium sianida dapat menyerang sistem peredaran darah dan jantung, yang berujung pada kematian.
Praktik ini juga membahayakan nelayan itu sendiri. Penggunaan alat setrum, misalnya, dapat menyebabkan kecelakaan fatal, terutama jika nelayan basah saat mengoperasikan alat tersebut. Salah satu kasus tragis terjadi pada Juli 2022 di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, di mana seorang nelayan tewas tersengat listrik saat menggunakan alat setrum untuk menangkap ikan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (diubah dengan Undang - Undang  Nomor  6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang), yang melarang penggunaan alat tangkap ikan yang merusak ekosistem. Pelanggar dapat dikenai hukuman penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp2 miliar.
Ancaman Sampah di Laut
Masalah lain yang mengancam keberlanjutan laut Indonesia adalah pencemaran sampah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2020 wilayah lautan Indonesia telah tercemar oleh 1.772,7 gram sampah per meter persegi. Jika dikalikan dengan luas laut Indonesia yang mencapai 3,25 juta km, jumlah sampah di laut diperkirakan mencapai 5,75 juta ton. Sampah plastik menjadi yang paling dominan, dengan bobot 627,8 gram per meter persegi, disusul oleh sampah kaca, keramik, logam, kayu, dan bahan lainnya.
Dampak dari pencemaran ini sangat memprihatinkan. Hewan laut, seperti ikan dan penyu, sering kali tidak sengaja mengonsumsi sampah tersebut, yang akhirnya menyebabkan kematian. Selain itu, kontaminasi sampah mikroplastik dalam ikan tangkapan dapat membahayakan kesehatan manusia. Konsumsi ikan yang terpapar mikroplastik secara terus-menerus berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan serius, termasuk kanker.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (diubah dengan Undang - Undang  Nomor  6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang). Undang-undang ini melarang pembuangan limbah ke laut tanpa izin, dengan ancaman hukuman pidana hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.
Solusi dan Upaya Keberlanjutan
Melihat berbagai tantangan di atas, pemerintah telah berupaya menyusun regulasi untuk melindungi ekosistem laut. Namun, penegakan hukum sering kali terkendala oleh kurangnya pengawasan dan rendahnya kesadaran masyarakat.
Langkah penting yang perlu dilakukan adalah meningkatkan monitoring wilayah perairan untuk menindak tegas para pelanggar. Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem laut juga harus digalakkan. Kesadaran kolektif akan pentingnya ekosistem laut sangat diperlukan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030, khususnya tujuan nomor 14 tentang pelestarian ekosistem bawah laut.