Mohon tunggu...
Adi Pradana
Adi Pradana Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Indonesia yang sedang belajar kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK vs POLRI: Jokowi, Ahok, dan Tes Litmus

7 Februari 2015   15:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:39 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="475" caption="Jokowi juga manusia"][/caption] Saat ini Indonesia tengah dirundung kegalauan. Tidak pernah terjadi dalam sejarah, dan tidak disangka-sangka, kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan mengembalikan mandat pencegahan dan pemberantasan korupsi kepada Presiden. Sejak pembentukannya, KPK selalu menghadapi berbagai macam serangan dari politikus, pejabat pemerintah, sampai penegak hukum lainnya. Analogi "Cicak vs Buaya" telah tertancap sebagai narasi publik atas perjuangan KPK mengatasi serangan "kriminalisasi" institusi Kepolisian (POLRI) kepada para pimpinan KPK. Maka tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa KPK adalah intitusi negara yang paling dipercaya oleh publik saat ini. Peran Presiden untuk menjaga eksistensi KPK vital dan tak terbantahkan. Dalam kisruh Cicak vs Buaya jilid 1, Mantan Presiden SBY membentuk tim independen yang diberi mandat hukum, mengeluarkan berbagai peraturan untuk memastikan kepemimpinan KPK tetap berjalan, dan menyatakan dukungannya kepada KPK dalam rapat kabinet bersama Kepala POLRI. Dalam konflik KPK vs Polri saat ini, Presiden Jokowi juga membentuk tim independen, tapi tidak diberi kekuatan hukum. Jokowi dikabarkan telah memutuskan tidak melantik Budi Gunawan menjadi TriBatra 1 karena tersangkut kasus rekening gendut, dan demi menjaga "moralitas publik". Tapi keputusan ini tak kunjung menjadi lembar negara untuk mengakomodasi masukan dari pimpinan partai politik dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Logika politik bisa saja membenarkan keputusan Jokowi untuk tidak memberikan keputusan. Jokowi butuh dukungan koalisi partai politik. Belum 1 tahun Jokowi memimpin, tentu pemerintah masih membutuhkan dukungan DPR untuk memuluskan berbagai anggaran, program, dan rancangan Undang-Undang. Muncul wacana supaya Jokowi mengikuti jejak mantan wakilnya, Gubernur Ahok, untuk meninggalkan Partai Gerindra. Buktinya Ahok masih bisa menjalankan roda pemerintahan DKI tanpa dukungan partai, bahkan leluasa menjalankan berbagai kebijakan yang inovatif. Justru Ahok lebih banyak berseberangan dengan DPRD dan kedua koalisi dalam berbagai isu. Resiko yang dihadapi Ahok memang lebih besar karena waktu yang tersisa untuk membuktikan hasil pemerintahannya hanya kurang dari tiga tahun. Bagi Ahok, ada batas yang tidak boleh dilanggar dalam kesetiaan kepada Partai Gerindra. Batas itu adalah Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebagai produk Pilkada, Ahok tidak bisa berada dalam satu partai yang menolak Pilkada. Dengan analogi ini, batas kesetiaan Jokowi kepada PDIP lebih lebar. Yang pasti "kriminalisasi" KPK dan pemilihan kabinet politis belum melanggar batas itu. Saat Jokowi masih lebih sabar "tersandera" oleh KIH, masyarakat dihadapkan pada eksperimen politik dengan tes litmus. Selayaknya di laboratorium, kita bisa mengetahui tingkat keasaman suatu larutan dengan mencelupkan kertas litmus; merah untuk asam, biru untuk basa, dan putih untuk netral. Melalui media massa, kita bisa menilai pengaruh rekening gendut Polri pada berbagai tokoh; dari Budi, Tedjo, Paloh, Mega, Kalla, sampai Jokowi. Hasil tes litmus ini perlu diungkap dalam narasi publik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendokumentasikan warna-warni para politikus, pejabat, dan penegak hukum. Jika anti korupsi masih menjadi prinsip, maka masyarakat bisa menggunakan hasil tes litmus ini dalam pemilu mendatang, siapapun partai, calon legislator, calon kepala daerah atau presidennya. Jokowi sendiri bisa melihat siapa saja yang mulai bergeliat, bergerilya, dan menunjukkan warna kulit sebenarnya dalam tes listmus ini. Ketika tiba masa perombakan kabinet mendatang dan waktu yang tersisa tidak banyak, warna-warni merah, biru, dan putih akan digunakan untuk memilih siapa yang harus diganti dan siapa yang bisa menggantikan, dari tingkat atas sampai bawah. Semoga saja hasil tes litmus ini bisa digunakan sebelum KPK mengembalikan mandatnya kepada Jokowi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun