"Kok bisa Jokowi mengajukan BG, seorang polisi berekening gendut, menjadi Kepala Polri? Katanya pengen kabinet profesional dan bersih?"
"Kenapa Jokowi diam saja saat KPK terus dikriminalisasi Buwas? Sampai seorang hakim Sarpin bisa membelokan hukum? Katanya mendukung penguatan KPK dan mendorong revolusi mental?"
"Jokowi kan dipilih oleh puluhan juta rakyatnya, kok dia malah berpihak sama Mega, Paloh, dan KIH sih? Apa dia ga ngeh kalo masyarakat bisa melihat jelas kelemahan kepemimpinannya? Katanya menjalankan kehendak rakyat?"
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terlontar di benak banyak pendukung Jokowi saat ini. Meme, olok-olokan, dan rasa frustasi terhadap Jokowi pun berseliweran di media sosial. Kepemimpinan Jokowi dalam pemberantasan korupsi belum memenuhi ekspektasi rakyatnya, justru melukai rasa keadilan publik.
Jokowi pasti stres luar biasa saat ini, terus ditekan seluruh penjuru mata angin, dari jurnalis, pengamat, politikus koalisi dan oposisi, tim independen, relawan dua jari, sampai Srikandi dan panasbung pendukung BG. Apakah Jokowi masih bisa waras menjalankan pemerintahan di tengah hiruk-pikuk politik ini? Kita bisa melihat tegangnya saraf presiden dalam wawancara langsung di salah satu TV nasional membahas kisruh KPK-Polri, gaya bicara Jokowi menjadi ngalor ngidul dan bahasa tubuhnya gemeteran, sampai stafnya harus memberikan kertas berisi poin-poin untuk dibacakan.
Sebagai manusia biasa, sepertinya Jokowi perlu usaha ekstra untuk menjaga kewarasannya. Setelah hari Valentine, Jokowi pindah kantor dari Istana Negara ke Istana Bogor yang adem, anyem, dan tentram. Tidak hanya merayakan hari kasih sayang bersama Iriana, Jokowi juga menjalankan rapat kabinet evaluasi 100 hari dan melancarkan komunikasi dengan kerabat politik. Meski menambah waktu perjalanan (dan macet) setengah hari dari Jakarta ke Bogor, siapa yang tidak mau hati dan pikiriannya tenang ketika rapat sambil melihat rusa bermain di halaman Istana Bogor.
Sebagai orang jawa tulen, sepertinya Jokowi punya pemicu stres yang agak berbeda. Menghormati orang tua, atau yang dituakan, apalagi yang sudah habis-habisan membantu, adalah nilai etika jawa yang teguh dipegang. Tidak mungkin Jokowi melawan orang-orang yang sudah ngemong dirinya. Berkelahi dengan Mega, Paloh, JK, BG, dan kawan-kawan KIH justru bisa menambah stres dan melanggar etika. Sebagai orang jawa, prioritas saat ini adalah ngeloni kerabat terdekatnya, meski harus jauh dari rakyat aslinya untuk sementara. Kita bisa lihat saat ini gaya blusukan Jokowi berubah dari mengunjungi desa dan pemukiman kumuh, menjadi makan soto Solo bersama elit KIH untuk mencairkan ketegangan politik.
Sebagai presiden, Jokowi sepertinya punya rentang toleransi stres yang berbeda juga. Selama 100 hari pemerintahan Jokowi, banyak contoh keberhasilan kebijakannya yang tidak populer, dari kenaikan harga BBM sampai penolakan pengampunan terpidana narkoba. Jokowi bukan orang yang mudah frustasi karena tidak populer. Sepertinya Jokowi tidak stres karena ia yakin kebijakannya adalah untuk kebaikan rakyatnya sendiri, meski banyak rakyatnya yang tidak setuju. Tindak-tanduk Jokowi saat ini adalah hasil kalkulasi politik: diam saat ini akan memuluskan program untuk rakyat di masa depan. Jokowi menimbang program tol laut, pengembangan desa, dan subsidi BBM yang memliki efek jangka panjang lebih penting dari pada moralitas dan rasa keadilan publik yang masih bisa berubah-ubah di jangka pendek.
Bagaimanapun juga, kewarasan jokowi sepertinya belum bisa diikuti oleh kewarasan rakyatnya. Pendukung Jokowi jadi bingung, pembela KPK masih sakit hati, rakyat Indonesia terbawa frustasi, dan mereka mungkin belum bisa memahami diam dan bahasa halus politik a la Jokowi. Mereka mendambakan presiden yang tegas seperti Prabowo, berhati lembut seperti Jokowi, tapi bisa membela rasa keadlian publik seperti SBY, dan juga masih bisa menjaga kewarasan rakyatnya.
"Apakah Jokowi masih waras?"
Sepertinya begitu. Tapi Jokowi justru perlu menjawab pertanyaan ini: