Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... -

Name: Abdul Rahman Birthday : Pontianak, 27 Mei 1984

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bahasa Indonesia dan Kita; Cermin Warisan Bangsa Yang Mulai Dilupakan

25 September 2012   10:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia dan Kita;

Cermin Warisan Bangsa Yang Mulai Dilupakan

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia...

(Sumpah Pemuda tahun1928, baris ketiga)

Indonesia adalah sebuah Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, budaya dan keragaman bahasa yang tersebar di masing-masing pulau yang ada di Indonesia. Keragaman etnis, budaya dan bahasa menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki luas wilayah yang sangat besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak terutama untuk kawasan di sekitar Asia Tenggara.

Berbeda dengan Negara-negara lain yang ada di dunia, Indonesia merupakan salah satu Negara yang wilayahnya tersebar dengan wilayah yang dipisah-pisah antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak mengherankan jika di antara penduduk pulau yang satu dengan yang lainnya terkadang memiliki perbedaan dalam hal bahasa dan dialek antar penduduk yang ada di wilayah Indonesia tersebut. Menurut situs Kompas.com, diperkirakan jumlah bahasa lokal (daerah) yang tersebar di Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 746 bahasa.

Peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 merupakan tonggak awal dimana para pemuda yang ada di masing-masing pulau (Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimatan) mencoba untuk mengikrarkan diri dalam satu kesatuan tumpah darah, bangsa, dan bahasa yang terikat dengan nama Indonesia. Padahal, jika dilihat secara faktual, Negara yang bernama Indonesia belum berdiri secara yuridis.

Berbicara bahasa Indonesia ternyata jauh lebih panjang dari pada membicarakan Negara Indonesia. Entah secara sadar atau tidak, Bahasa Indonesia secara langsung dinyatakan sebagai bahasa Nasional dalam moment Sumpah Pemuda tahun 1928, yang notebene jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Mungkin dalam hati kita bertanya, mengapa bahasa Indonesia yang bercikal bakal dari bahasa Melayu dari daerah Riau disepakati dan digunakan sebagai bahasa Nasional untuk berkomunikasi dan sebagai alat perekat kesatuan suku-suku yang ada di Indonesia. Karena jika dilihat secara nyata, mengapa bukan bahasa Jawa atau bahasa Bugis-Makassar atau bahasa daerah lain yang menjadi bahasa Nasional? Atau jika harus bahasa Melayu, mengapa para pendiri Negara ini tidak menggunakan bahasa Melayu daerah Pontianak, Banjarmasin, atau bahasa Maluku, Betawi, ataupun bahasa Kutai (Kalimantan Timur)?

Ternyata para pendiri negeri ini memiliki beberapa alasan diantaranya:Jika bahasa Jawa disepakati dan digunakan sebagai bahasa nasional, maka suku-suku bangsa yang ada di Republik ini akan merasa “dijajah” oleh suku Jawa, karena suku Jawa yang mendiami Republik ini bersifat mayoritas.

Dalam bahasa Jawa, ternyata ada tingkatan (level) bahasa yang terdiri dari 3 level: a. Halus, b. Biasa, c. Kasar

Dan, masing-masing dari level bahasa tersebut digunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Jdi, bila seseorang yang kurang memahami struktur budaya Jawa, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.Bahasa Melayu Riau merupakan salah satu bahasa yang paling sedikit terkena pengaruh dari bahasa-bahasa asing (Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Kek, dll).

Penggunaan bahasa Melayu ternyata bukan hanya terbatas di Republik ini. Karena ketika Indonesia masih dijajah oleh Inggris, Negara Malaysia, Brunei, dan Singapura ternyata menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa mereka, dan diharapkan di negara-negara tersebut bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan Nasionalisme khususnya untuk Negara-Negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.Jadi, dari alasan tersebutlah maka bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk menjdi bahasa Nasional Republik Indonesia.

Sudah 67 tahun Negara Indonesia ini berdiri, dan sudah sekian lama juga penulis belajar bahasa Indonesia baik dari tingkat sekolah dasar, sampai ke tingkat perguruan tinggi. Namun dari pengalaman belajar bahasa Indonesia tersebut, masih banyak kita temukan di sekitar kita orang-orang yang “enggan” untuk menggunakan bahasa Indonesia tersebut. Mereka merasa lebih nyaman untuk menggunakan bahasa daerah mereka ketimbang bahasa Indonesia, terlebih jika orang-orang tersebut berkomunikasi dengan orang-orang yang berasal dari suku yang sama.

Memasuki era Millenium dan globalisasi saat ini, penulis melihat kalau sebagian dari orang Indonesia saat ini sudah tidak menghargai dan cenderung “meninggalkan” bahasa Indonesia yang notebene adalah sebagai lambang dari Negara Indonesia. Anak-anak kita lebih giat untuk belajar dan mendalami bahasa asing daripada belajar atau mendalami bahasa Indonesia. Mereka beranggapan kalau mempelajari dan mendalami bahasa asing (bahasa Inggris atau Mandarin) terasa lebih maju, lebih berwawasan dan mungkin bisa dikatakan lebih gaul.

Paradoks akan hal tersebut juga terlihat dari banyaknya orang asing (turis) yang justru ingin mengenal Indonesia salah satunya dengan cara belajar bahasa Indonesia baik secara formal (lembaga pendidikan) maupun non-formal (melalui pramuwisata dan lain-lain).

Di Islandia, sebuah negara kecil di Eropa, yang jumlah penduduknya sekitar 250.000 orang, walaupun mereka dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Negara ini masih mempertahankan kemurnian bahasa pertamanya dari pengaruh bahasa Inggris. Di Kubekistan (Guebec), yang salama ini peraturan di negara bagian ini mewajibkan penggunaan bahasa Perancis untuk semua papan nama, sekarang diganti dengan bahasa sendiri. Demikian juga negara-negara pecahan Rusia seperti Ukraina, Lithuania, Estonia (yang memisahkan diri dari Rusia) telah menggantikan semua papan nama di negara tersebut yang selama itu menggunakan bahasa Rusia.

Kemudian, bagaimana halnya dengan di Indonesia? Di Indonesia, hal yang sama juga pernah dilakukan ketika negara Indonesia masih di bawah rezim Orde baru.Para stake holder negara saat itu (gubernur, bupati, dan walikota seluruh Indonesia mengeluarkan kebijakan (intruksi) untuk mengganti seluruh papan nama khususnya untuk dunia usaha dan perdagangan yang ada di seluruh Indonesia yang sebelumnya menggunakan bahasa asing agar diubah menjadi bahasa Indonesia. Namun di era reformasi sekarang, penulis melihat sepertinya hal tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Pemerintah kita saat ini dirasakan tidak bersemangat untuk melakukannya, mungkin dikarenakan oleh kuatnya “arus” globalisasi yang menerjang dalam berbagai bidang kehidupan, ditambahlagi dengan dengan dijadikannya beberapa bahasa asing sebagai bahasa internasional, makin membuat bahasa Indonesia menjadi asing di dalam Negerinya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun