Tulisan ini bukanlah bermaksud untuk mendiskreditkan sebuah partai tertentu apalagi bertujuan untuk membuka ”aib” atas realita yang tengah terjadi. Tulisan ini adalah sebuah tulisan yang bermula dari keheranan diri atas apa yang terjadi di lapangan terkait dengan aktivitas dan rutinitas yang biasa dilakonkan oleh para kader dan simpatisan wabil khusus bagi para kader, anggota dan simpatisan Partai keadilan Sejahtera (PKS).
Saya menyadari mungkin tulisan ini menyinggung atau mungkin menyakitkan untuk dibaca, tapi saya tidak ambil pusing, karena sudah sejak lama “azzam” untuk menulis tentang tema di atas telah lama tertanam dalam hati. Bukan untuk memfitnah, bukan pula untuk mengkoreksi, tapi murni hanya sebatas ingin membuka ruang komunikasi dialektika untuk saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.
Saya bukanlah seorang pengamat politik, bukan pula seorang kader partai apalagi seorang simpatisan sebuah partai politik atau golongan tertentu. Namun, saya sangat yakin jika seseorang atau kelompok orang yang ingin mendirikan sebuah partai (Partai Islam maupun Nasionalis) tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, salah satunya adalah ingin memajukan sebuah bangsa lewat “perjuangan” yang dilakukan dengan cara berpolitik.
Pasca gelombang reformasi tahun 1999 yang lalu, kemajuan dan perkembangan iklim demokrasi perubahan terasa begitu pesat. Kebebasan untuk berserikat, berkumpul, atau mendirikan partai telah terbuka bagi siapa saja yang ingin “bertarung” dalam rangka merebut kekuasaan dalam perpolitikan di Indonesia.
Salah satu yang tampak nyata dari perubahan iklim demokrasi pasca peristiwa reformasi adalah menjamurnya partai-partai sebagai bentuk aplikasi ide, gagasan maupun pemikiran dari orang ataupun kelompok orang untuk mendirikan wadah (baca: partai), dalam rangka ingin terlibat dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Bagai jamur yang tumbuh di musim hujan, partai dengan berbagai macam landasan ideologis filosofis pun ditawarkan kepada masyarakat untuk mencari simpati yang lebih besar.
Terbukanya ruang untuk mengeliminir jargon pancasila sebagai landasan ideologis filosofis menjadi peluang bagi para aktivis “pendakwah” untuk berjuang dalam bidang politik untuk mendirikan sebuah partai dengan menggunakan jargon Islam sebagai landasan ideologis filosofis. Salah satu yang tampak kentara di permukaan adalah berdirinya Partai Keadilan (PK) yang sekarang telah berganti nama menjadi Partai keadilan Sejahtera (PKS).
Sekali lagi saya minta maaf kepada para pembaca, khususnya bagi mereka para simpatisan, anggota, kader maupun para petinggi partai PKS. Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mencerca, memaki apalagi menghina. Tulisan ini murni sebagai langkah awal untuk membuka dialog untuk berdialektika untuksaling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.
Tulisan ini juga bukan bentuk emosi hati ketika seorang Luthfi Hasan Ishaaq sang “pemimpin” bagi “masyarakat” PKS ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena tersandung kasus impor daging sapi, karena bukankah kita dianjurkan untuk berprasangka positif terhadap apa yang terjadi. Karena saya yakin kebenaran akan selalu mengalahkan kejahatan baik dalam bentuk intrik, rekayasa ataupun manipulasi. Contoh kongkritnya adalah seorang Misbakhun yang merupakan kader PKS yang semula ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus Letter Of Credit (LC) fiktif dalam kasus Century juga bisa membuktikan dirinya tidak bersalah di tingkat Mahkamah Agung.
Sekali lagi saya ingin mengatakan kalau tulisan ini bukanlah bermaksud untuk mencela, mencerca apalagi menghina sesama ummat Muslim, namun lebih kepada “ketidaksregan” atas apa yang saya lihat, dan saya rasakan terkait dengan realita yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, apa yang saya ungkapkan di di sini mungkin tidaklah sama dengan yang dilihat, dirasakan oleh para pembaca khususnya yang berdomisili di luar area kota Pontianak.
Berbicara masalah kesolidan kader, PKS mungkin merupakan satu-satunya partai yang sangat solid, khususnya dalam bentuk “pemeliharaan” untuk para kader, simpatisan maupun anggotanya. Pemeliharan tersebut dapat dilihat dari bagaimana jelinya partai yang berlambang bulan sabit kembar ini menjaring para calon simpatisan sampai menjadi seorang kader partai yang solid serta militan dengan mengirimkan para anggotanya untuk masuk di berbagai lingkungan sekolah dan kampus. Untuk di kota Pontianak sendiri, perekrutan calon simpatisan PKS berada di dalam organisasi yang bernama ROHIS (Rohani Islam).
ROHIS merupakan salah satu bagian dalam kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah-sekolah setingkat SMA/MAN/SMK. Dalam kegiatan ROHIS yang berbentuk pengajian ini, biasanya dipimpin oleh seorang pembimbing yang disebut dengan istilah mentor. Nah, mentor-mentor inilah yang biasanya bertugas untuk memberikan bimbingan “doktrin” keislaman kepada para siswa/i yang polos tersebut. Adapun sumber falsafah-religius yang biasanya diterapkan oleh para mentor (baca: kader) dari PKS ini kebanyakan berlandaskan pada mazhab hujjatul Islam asal Mesir yaitu Hassan Al-Banna.
Kemudian untuk tingkat kampus (mahasiswa), perekrutan calon simpatisan PKS berada di dalam organisasi yang bernama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Sama dengan pola ROHIS yang ada di tingkat SMA/MAN/SMK. Dalam organisasi LDK, kegiatan ini juga dipimpin oleh seorang mentor dan tidak hanya aktif bergerak di dalam kampus, biasanya kegiatan pengajian yang ada di tingkat SMA maupun kampus juga dilaksanakan di luar jam sekolah atau kuliah yang dikenal dengan istilah Liqo’.
Jika dikaitkan antara ROHIS, LDK maupun KAMMI, sebenarnya ada satu keterkaitan yang sangat erat. Karena ketika anak-anak ROHIS yang masih berusia remaja polos tersebut masuk dalam bangku perkuliahan, maka wadah yang “mirip” ketika masih berada di tingkat SMA/MAN/SMK dulu adalah dengan masuk kembali ke dalam kegiatan kampus yang bernama LDK dan KAMMI, karena dua organisasi tersebut memiliki pola gerakan dan kegiatan yang sama dengan apa yang mereka lihat dan rasakan ketika mengikuti kegiatan ROHIS yang ada di sekolah dulu. Jadi, jika disimpulkan anggota atau kader PKS merupakan gerakan pergerakan (pengkaderan) yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur mulai dari pencarian “bibit” di tingkat sekolah (ROHIS) sampai tingkat kampus (LDK dan KAMMI).
Secara fisik, penampilan para simpatisan, anggota maupun kader memang tampak agak berbeda dengan orang kebanyakan. Untuk para lelakinya (Ikhwan) kebanyakan berpenampilan dengan jenggot tebal atau tipis, dan selalu memakai pakaian muslimah (baju koko) dan sangat jarang sekali memakai celana jeans. Kebanyakan dari mereka selalu menggunakan celana kain dengan panjang celana yang selalu berada di atas mata kaki.
Adapun bentuk penampilan mereka sangat mudah dikenali. Hal ini tampak dari tampilan mereka yang berbeda dari perempuan-perempuan muslimah kebanyakan. Penampilan dari para perempuan yang disebut dengan akhwat ini kebanyakan sering menggunakan jilbab panjang yang menutupi seluruh badan dan selalu menggunakan rok yang dibalut dengan kaos kaki plus engkel yang melekat di tangan.
Secara kultural, untuk masalah pernikahan misalnya, biasanya para simpatisan, anggota, maupun kader yang telah menjadi bagian dalam komunitas partai yang sekarang dipimpin oleh Anis Matta ini baik secara struktural maupun sosial selalu dan selalu menerapkan aturan “baku” dengan melakukan pernikahan secara endogami. Artinya, pernikahan antara ikhwan dan akhwat biasanya hanya dilakukan antar mereka yang juga bagian dalam satu komunitas dengan memprioritaskan standar kecocokan berdasarkan tingkat dari latar belakang pendidikan. Lantas, bagaimana jika salah satu dari mereka bukan merupakan bagian dari komunitas tersebut? Maka, pihak tersebut “diwajibkan” untuk mengikuti pengajian (Liqo’), agar “suhu” antar kedua belah pihak menjadi sama.
Satu hal yang menarik dan mungkin belum tentu benar adanya adalah adanya aturan yang tidak tertulis di kalangan mereka (para Ikhwan), yaitu adanya anjuran untuk melakukan poligami. Namun, secara pribadi saya belum menelisik lebih jauh mengenai kebenaran dari doktrin tersebut.
Secara sosial, para simpatisan, anggota, maupun kader yang telah menjadi bagian dalam komunitas ini baik secara struktural maupun sosial kebanyakan kurang bergaul dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Namun, mereka sangat terbuka dan sangat fleksibel jika berada dalam satu ruang lingkup komunitas mereka (internalistik).
Secara politik, pola pergerakan dari para simpatisan, anggota, maupun kader dari partai dakwah adalah dengan selalu berpegang teguh pada konsep Sami’na Wa’atho’na. Artinya, apapun keputusan dari pemimpin (baca: pemimpin partai) dalam hal pengusungan calon dalam pilkada haruslah dipatuhi, dan bentuk dari perintah tersebut biasanya lebih sering dilakukan dengan cara pengiriman “pesan” melalui lewat SMS berantai yang ditujukan dari tingkat DPD kepada para simpatisan, anggota maupun para kader-kadernya. Wallahu’alamubisshowab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H