Mohon tunggu...
Rahma Maulinda
Rahma Maulinda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Magister Psikologi

seorang mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cara Diri (Self) Bahagia dalam Budaya Jawa

7 Januari 2025   14:18 Diperbarui: 7 Januari 2025   14:18 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kraton Kasunana. Sumber: Pribadi

Untuk memahami konsep self Orang Jawa, dibutuhkan aspek pikiran dan mentalitas. Pikiran adalah aspek abstrak dari kebudayaan, sedangkan mentalitas adalah nilai budaya dari kebudayaan yang terbentuk dari pikiran abstrak yang dipelajari sejak awal kehidupan. Konsep self seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan, orang disekitar, dan padangan individu terhadap dirinya sendiri. Menelaah eksistensi orang Jawa melalui self adalah bagian strategis untuk memahami bagaimana nilai kebudayaan Jawa masih berpengaruh pada keseharian etnis Jawa. Ini memunculkan pertanyaan bagaimana bahagia dari konsep self orang Jawa?

Wong Jawa iku nggone rasa salah satu konsep self yang dikemukaan oleh Yatman, rasa memiliki makna yang luas, lebih dalam dari makna feeling, emotion, sentimentalty, mood, atau sensation. Rasa juga diartikan sebagai pertemuan antara aliran ‘jagad gedhe’ dan ‘jagad cilik’. Self yang bahagia dalam budaya Jawa merupakan individu yang memiliki penguasaan rasa sebagai cara untuk memahami dirinya (insight) yang bekebalikan dengan delusi atau pemahaman tidak benar mengenai perilaku guja hawa nafsu. Nafsu dalam Budaya Jawa berupa amarah, lawwamah, mutmainah, wibisana, dan supiyah. Nafsu – nafsu tersebut memiliki kekhususan tersendiri dalam prakteknya serta dibutuhkan pengendalian diri dengan poso, mutih, patirogo, dsb. Pengendalian hawa nafsu yang baik dapat membantu seseorang mencapai ‘padange jagad cilik’ (ketenangan dan kecerahan fisik/psikologis) dalam berperan di masyarakat. Jagad gedhe adalah alam sekitarnya sehingga semua yang diinginkan dapat terwujud dan tercapai.

Dalam masyarakat Jawa, pengendalian nafsu merupakan pengendalian diri yang utama karena dianggap akan mengombang-ambingkan kehidupan manusia sehingga emosi menjadi meledak-ledak dan merupakan nafsu yang dihindari oleh orang Jawa. Pengendalian nafsu yang baik akan mewujudkan sikap nrimo ing pandum. Nrimo ing pandhum berasal dari dua suku kata bahasa Jawa, yaitu “narima” atau “nrimo” yang berarti menerima kondisi apa adanya dan “pandum” berarti pembagian. Nrimo ing pandum digambarkan sebagai proses seseorang untuk dapat mengendalikan diri, menerima, dan bersyukur terhadap hasil dari yang sudah diupayakan.

Nrimo ing pandum sendiri merupakan gambaran respon afektif dan kognitif seseorang dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk intropeksi diri saat sedang memiliki masalah. Nrimo ing pandum berkaitan erat dengan penerimaan diri dan berdamai dengan keadaan sehingga mengurangi kekecewaan apabila yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Implementasi dari nrimo adalah menerima keadaan diri dan keluarga apa adanya, dengan tidak melupakan rasa syukur. Nrimo ing pandum menjadikan orang jawa cenderung lebih kuat dalam menghadapi kehidupan. Seseorang yang dapat menerapkan konsep menerima dalam menghadapi masalah cenderung mampu mengelola emosi dengan baik dan berpikiran positif.

Konsep ini dalam psikologi tergolong konsep penerimaan diri. Tokoh psikologi Ryff (2013) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah pandangan kepada diri sendiri secara positif dengan menerima baik dan buruknya diri sehingga dapat memandang masa lalu secara positif. Namun, Nrimo ing pandum tidak sekedar penerimaan diri dan kondisi namun terdapat nilai syukur didalamnya. Menurut Endraswara (2018) nrimo ing pandum memiliki 3 nilai utama yaitu, syukur, sabar, dan menerima. Nrimo ing pandum dapat membuat seseorang merasakan kelegaan, nyaman, dan bahagia. Nrimo ing pandum sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa diharapkan bisa terus menjadi panduan serta sandaran hidup di tengah-tengah lika-liku kehidupan yang kompleks ini serta menjadi alarm yang mengingatkan kita untuk mengendalikan diri dari hal-hal yang berada di luar kendali kita. Konsep ini sangat cocok sebagai sandaran psikologis orang Jawa untuk mencapai kebahagiaan.

Sumber:

Prayekti. (2019). Konseptualisme dan Validasi Instrumen Narimo Ing Pandum (Studi pada SMK Jetis Perguruan Tamansiswa Yogyakarta). Jurnal Bisnis Teori dan Implementasi, 10(1), 31-39.

Rakhmawati, S. M. (2022). Nrimo Ing Pandum Dan Etos Kerja Orang Jawa: Tinjauan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Jurnal Pancasila, 3(1), 07-19.

Pratama, D. Y., & Yunanto, T. A. R. (2024). Konsep Penerimaan diri Orang Jawa Ditinjau dari konsepNarima ing pandum: Pendekatan Indigenous Psikologi. Jurnal Diversita, 10(1), 11-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun