Muhaimin Iskandar, atau yang akrab disapa Cak Imin, lahir di Jombang pada 24 September 1966. Tumbuh di lingkungan keluarga yang terhormat namun sederhana, ayahnya adalah seorang kyai terkemuka yang mengelola pesantren Tebuireng. Bukan sekedar pesantren biasa, Tebuireng adalah salah satu pesantren tertua di Indonesia. Ia hidup dalam kesederhanaan, namun penuh dengan kekayaan nilai agama, pendidikan, dan tradisi pesantren yang kuat. Di dalam rumah yang sederhana namun penuh berkah itu, Muhaimin tumbuh dengan pemahaman mendalam akan agama dan tanggung jawab sosial.
Sejak kecil, Muhaimin sudah memiliki rasa ingin tahu yang besar. Tidak seperti anak lainnya, saat anak-anak lain bermain ia lebih tertarik untuk terlibat dalam diskusi panjang dengan santri yang lebih tua dan membahas tentang agama, kehidupan, dan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Namun, di balik kecerdasannya Muhaimin harus menghadapi kenyataan pahit atas keadaan finansial keluarganya. Banyak mimpinya yang hampir kandas karena keterbatasan ekonomi. Bahkan, ia pernah didapkan dalam situasi dimana impiannya untuk belajar lebih jauh hanya sebatas angan, karena keluarganya tak selalu mampu membiayai pendidikan yang layak.
Namun, Muhaimin bukanlah sosok yang mudah menyerah. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ia tetap memupuk mimpinya. Ia menyadari bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib, bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya. Keinginan ini yang terus mendorongnya maju. Ketika ia akhirnya diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu universitas bergengsi di Indonesia. ia tahu betul, bahwa jalan yang akan ditempuh tidak akan mudah.
Yogyakarta, adalah kota yang menjadi tempat ia merajut masa depan. Perjalanan yang dilewati lagi -- lagi tidak berjalan mulus, Muhaimin harus menghadapi banyak kesulitan. Biaya hidup yang mahal dan tuntutan akademis membuatnya harus bekerja sambilan demi bisa bertahan. Ia sering kali tidur larut malam, sehingga mengerjakan tugas-tugas kuliah sambil mengurus pekerjaan tambahan. Ada saat-saat di mana ia harus memilih antara makan dan membeli buku. Namun, semua itu tidak menghentikannya. Setiap tantangan justru memperkuat keyakinannya bahwa ia sedang meniti jalan untuk sesuatu yang lebih besar.
Dalam perjalanan akademiknya, Muhaimin semakin terlibat dalam dunia aktivisme. Ia menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak rakyat. Diskusi-diskusi yang ia hadiri berubah menjadi aksi nyata di jalanan. Di sanalah Muhaimin menyadari bahwa perubahan tidak bisa hanya dilakukan di ruang kelas atau diskusi intelektual semata, namun perubahan harus diperjuangkan.
Ketika akhirnya ia kembali ke Jombang setelah menyelesaikan pendidikannya, Muhaimin tak hanya membawa raganya, namun ia membawa impian besar untuk menjadikan politik sebagai alat  yang dapat memperjuangkan nasib rakyat kecil. Muhaimin bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang didirikan oleh para ulama Nahdlatul Ulama (NU) termasuk pamannya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Muhaimin langsung menunjukkan bakat politiknya, namun perjalanan politiknya tidak mudah. Intrik politik, ketegangan internal partai, dan tekanan dari pihak-pihak yang meragukan kemampuannya menjadi ujian berat yang harus ia hadapi.
Muhaimin tidak pernah gentar. Dengan ketenangan dan visi yang jelas, ia terus bergerak maju. Tahun demi tahun berlalu, dan sedikit demi sedikit ia mulai mendapatkan kepercayaan dari rekan-rekan partainya. Posisi penting di PKB mulai ia emban satu per satu, hingga akhirnya ia menjadi salah satu tokoh sentral yang menentukan arah kebijakan partai. Namun, di tengah kesuksesan politik itu ada masa-masa di mana Muhaimin harus memilih antara mempertahankan prinsip atau mengikuti arus kekuasaan. Ia tahu, setiap pilihan yang diambilnya akan menentukan masa depan bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk jutaan rakyat yang ia wakili.
Pada 2009, Muhaimin mencapai salah satu puncak karir politiknya ketika ia dipercaya menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tentu saja posisi ini menjadi tantangan besar, di mana ia harus mengambil keputusan-keputusan penting yang akan berdampak langsung pada nasib jutaan pekerja di Indonesia. Berbagai kebijakan yang ia usulkan tidak selalu diterima dengan mudah. Banyak yang menentangnya, bahkan di dalam partainya sendiri. Namun, Muhaimin selalu yakin bahwa setiap langkah yang diambilnya adalah untuk kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang paling membutuhkan.
Di masa itu, Muhaimin menunjukkan keberaniannya yang luar biasa. Di tengah tekanan politik dan ekonomi global yang tidak menentu, ia terus memperjuangkan hak-hak buruh dan pekerja, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan memperkuat sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang ia inisiasi sering kali kontroversial, namun di situlah Muhaimin menemukan panggilan sejatinya sebagai pemimpin.
Kini, Muhaimin Iskandar adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia. Dari seorang anak pesantren yang sederhana, ia telah meniti jalan panjang yang penuh liku, menghadapi berbagai tantangan dan cobaan yang sering kali hampir menghancurkan mimpinya. Namun, dengan ketekunan, kerja keras, dan keyakinan yang tak tergoyahkan, ia telah membuktikan bahwa tidak ada impian yang terlalu besar untuk dicapai.
Di balik kesuksesannya, tersimpan kisah tentang perjuangan, pengorbanan, dan ketabahan. Cak Imin adalah sosok yang selalu percaya bahwa setiap rintangan adalah bagian dari proses pembentukan diri, dan bahwa setiap tantangan adalah ujian untuk membuktikan sejauh mana keyakinan seseorang akan impian yang dipegangnya. Perjalanan hidupnya menginspirasi banyak orang, bahwa kesuksesan tidak datang begitu saja, melainkan harus diperjuangkan, meski dengan peluh, air mata, dan darah. Ia adalah bukti nyata bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan jika kita cukup berani untuk memperjuangkannya hingga titik akhir.