1. Sejarah pencatatan pernikahan
Pencatatan perkawinan di Indonesia memiliki sejarah yang berkembang secara berurutan dengan beberapa tahap utama sebagai berikut: pertama,Pada Zaman Kolonial (Sekitar Tahun 1600-1945): Perkawinan dilakukan secara tradisional tanpa ada sistem resmi untuk mendokumentasinya. Ketika Belanda menjadi kolonial di Indonesia, mereka telah melaksanakan pencatatan kawin secara administrasi bagi warga Eropa dan buruh asing. Kedua, Peraturan No. 7 Tahun 1958 (Dari Tahun 1958 sampai dengan 1964): Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958 tentang Pernikahan, pencatatan perkawinan dimulai secara resmi di Indonesia. Sistem ini hanya melayani warga Indonesia yang termasuk dalam agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Ketiga, Undang-undang No. 8 Tahun 1974 -- Undang-undang ini mendorong pemerintahan daerah untuk membuat surat akte perkawinan secara administrasi. Keempat, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1975 -- Menyebabkan pendaftaran perkawinan harus diselesaikan oleh kepala desa atau wali desa. Kelima, UU No. 2 Tahun 1974 tentang Kewarganegaraan -- Memperluas hak-hak perkawinan bagi orang asing yang ingin menikah di Indonesia. Keenam, Keputusan Presiden No. 2 Tahun 1999 -- Melaksanakan penerapan Surat Akte Perkawinan Elektronik (SAPE). Ketujuh, PP No. 10 Tahun 2000 -- Merubah nama SAPE menjadi Sertifikat Perk.
2. Pentingnya pencatatan pernikahan
Pencatatan perkawinan menjadi sesuatu yang penting sebab pencatatan bisa dikatakan pendataan administrasi perkawinan yang tujuannya memenuhi ketertiban hukum dan setiap pencatatan perkawinan menurut pasal 5 KHI dilakukan oleh pegawai pencatatan nikah (PPN). Dikarenakan jika perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan perkawinan menurut (Pasal 6 KHI) maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan juga diperlukan untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak- anaknya. Supaya perkawinan tersebut dapat diakui oleh negara dan benar adanya. Kemudian ketika terjadi suatu sengketa yang mungkin terjadi dalam rumah tangga, apabila terjadi perselisihan di dalam rumah tangga diantara suami istri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab bahkan bisa merugikan salah satu pasangan suami istri tersebut maka maka salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing karena dengan bukti otentik yaitu dengan pencatatan nikah yang sudah sudah diakui agama dan negara maka dipastikan mendapatkan perlindungan hukum. Pada awalnya pencatatan perkawinan dalam hukum islam tidak secara konkret dalam mengaturnyamengaturnya, akan tetapi seiring berkembangnya zaman dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama di beberapa daerah Indonesia, maka dibuatlah aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini untuk melindungi pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan dan juga akibat dari perkawinan, antara lain seperti dalam hal kewarisan, nafkah, hubungan istri dan anak, dan lain-lain. Bisa disimpulkan bahwasanya pencatatan pernikahan bukan yang termasuk kedalam syarat sahnya pernikahan, tetapi peranan pencatatan pernikahan ini sangat menentukan dalam suatu ikatan pernikahan, karena hal tersebut adalah syarat diakuinya suatu ikatan pernikahan oleh negara. Selain itu, Islam disyariatkan hanya untuk memberikan kemaslahatan kepada seluruh manusia dan menghindari dari kemudharatan.
3. Analisis pencatatan perkawinan dalam tinjauan sosiologi, filosofis, religius dan yuridisÂ
Dalam tinjauan sosiologis ada tiga tipe praktek nikah di bawah tangan atau nikah sirri: Pertama; nikah sirri/ nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilaksanakanmengikiuti ketentuan syari'at Islam (telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah), hanya saja masih bersifat intern keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan juga belum diadakan perhelatan menurut adat (walimah al- 'a>rush). Model pertama ini suami isteri masih tinggal di rumah orang tua masing-masing, karena isteri masih anak-anak usianya belum mencapai ketentuan undang-undang laki-laki usia 19 tahun perempuan usia 16 tahun. Motif model pertama ini untuk menjaga ketenangan,
serta batasan halal dan haram dalam pergaulan.
Kedua, nikah sirri dilakukan sesuai dengan ketentuan syari'at Islam, dan telah dicatat oleh petugas PPN, hanya saja belum diadakan perhelatan secara adat, terbuka. Hal ini dilakukan karena suami isteri, atau salah satunya masih sedang menyelesaikan studi. Motif model kedua ini mengharap ketenangan dan menjaga kehalalan pergaulan kedua belah pihak.
Ketiga, nikah sirri yang hanya dilangsungkan menurut syari'at Islam, atau dirahasiakan sengaja dilakukan secara diam-diam. Hal ini berbenturan dengan PP Nomor 10/1983.
Ketiga, nikah sirri yang hanya dilangsungkan menurut syari'at Islam, atau dirahasiakan sengaja dilakukan secara diam-diam. Hal ini berbenturan dengan PP Nomor 10/1983.
Perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri sipil dan PP Nomor 45/1990, tentang perubahan PP 10/1983. Model ketiga ini, calon suami menghindari hukuman jabatan atas pelanggaran PP tersebut
Menurut analisis penulis Pernikahan model pertama dan kedua adalah sah, sedangkan model ketiga, tidak sah karena hanya mengikuti gejolak nafsu birahi saja, dan banyak mengadung mendorong madarat, bahaya yang besar terutama bagi suami untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Makna filosofis dari pencatatan perkawinan yaitu Islam disyariatkan hanya untuk memberikan kemaslahatan kepada seluruh manusia dan menghindari dari kemudhorotan. Salah satu petunjuk Allah dalam syariat Islam adalah diperintahkan ya menikah dan diharamkannya berzinah. Perintah kawin merupakan salah satu implementasi dari Al maqashid Al khamsah yaitu khifd an nasl.
Makna religious (agama) dari adanya pencatatan perkawinan ini mungkin tidak sebegitu penting karena dalam agama pernikahan yang sah itu terpenting sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Namun dalam agama Islam juga menghendaki umatnya untuk mematuhi peraturan yang ada demi tegaknya kenyamanan dan jaminan hidup bernegara.
Analisis makna yuridis dalam pencatatan perkawinan mengacu pada pemahaman dan interpretasi aspek hukum yang terkait dengan proses pencatatan perkawinan dalam sistem hukum suatu negara. Hal ini mencakup aturan, prosedur, dan konsekuensi hukum yang terkait dengan pencatatan perkawinan, seperti status hukum suami istri, hak dan kewajiban, pembagian harta, serta perlindungan hukum bagi pasangan yang telah menikah. Makna yuridis ini penting dalam memastikan perlindungan hak dan kepentingan kedua belah pihak yang terlibat dalam pernikahan, serta menjaga keabsahan dan kekuatan hukum dari pernikahan itu sendiri.