Berbincang mengenai sosial keagamaan, di sekitar tempat tinggal saya tepatnya desa Wringin, masih sangat kental mengenai hal tersebut. Masyarakat desa memang terkenal dengan kerjasama yang baik, atau bisa di katakan masih sering bergotong royong. Mereka cenderung melakukan pekerjaan bersama-sama, tidak ada rasa individual didalamnya. Kita sudah menganggap semua tetangga seperti keluarga sendiri meskipun tidak ada ikatan darah. Uraian tersebut dapat diambil dari aspek sosial.
      Jika kita lihat dari aspek keagamaan, masyarakat desa Wringin mayoritas beragama Islam. Mengapa mayoritas? Karena dalam hal ini, orang-orang desa dapat dikatakan Islam sejak lahir karena berasal dari ayah dan ibu yang juga beragama Islam. Di desa Wringin lumayan banyak pondok pesantren, yang mana di dalamnya tidak hanya warga asli desa Wringin. Ada juga anak rantauan yang menimba ilmu dalam pesantren tersebut. Aspek keagamaan di sini memang sangat terjaga, di lihat dari banyaknya yang kurang lebih 6 pesantren, masjid-masjid, dan musholla yang dapat kita jumpai hampir di setiap dusun.
      Dengan berkembangnya era modern masa kini, sosial keagamaan di desa kami masih tetap terimplementasikan, contohnya saja rutinan pengajian tiap malam jum'at. Rutinan ini mayoritas di hadiri oleh bapak-bapak sebagai bentuk loyalitas sosial keagamaan. Dalam pengajian ini terdapat kegiatan mengaji Yasiin dan Tahlil bersama. Sebagai kegiatan tambahan, dalam pengajian tersebut di adakan arisan dan simpan pinjam uang tanpa bunga untuk membantu sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan ini sudah berjalan sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Menurut saya, menariknya dari kegiatan ini adalah banyak mengandung manfaat, selain juga mempererat tali silaturahmi antar warga, kita juga dapat barokah dari pengajian tersebut, serta dapat membantu finansial sesama warga desa Wringin.
      Sedangkan di kalangan ibu-ibu desa Wringin, ada juga kegiatan sosial keagamaan yang biasa di sebut tiba'an oleh orang sekitar sini. Tiba'an ini berisi sholawat-sholawat nabi, syair-syair Islam, atau lantunan-lantunan Islami lainnya. Tiba'an ini biasanya diadakan setiap hari selasa di masjid-masjid terdekat oleh sekumpulan ibu-ibu. Selain tiba'an, ada juga pengajian ibu-ibu di daerah pesantren. Yang saya ketahui yakni di pesantren Darussalam, berdekatan dengan pesantren Zainul Bahar. Di sana juga diadakan kegiatan pengajian dengan membaca sholawat nariyah, istighotsah, dan surat al-kahfi. Hampir sama dengan pengajian malam jum'at, di pengajian ini juga diterapkan arisan dan simpan pinjam uang bagi ibu-ibu yang menghadiri pengajian. Pengajian mayoritas adalah tetangga atau warga yang rumahnya dekat pesantren. Di lakukannya pengajian yakni setiap hari Minggu, pukul 12.30 WIB sampai kurang lebih pukul 14.00 WIB. Dengan diadakannya di jam tersebut, tentunya tidak mengganngu kegiatan kerja ibu-ibu sekitar pesantren yang mayoritas bekerja di pasar Wringin. Sehingga lumayan banyak ibu-ibu yang menghadiri rutinan pengajian ini.
      Kondisi sosial keagamaan di sekitar tempat tinggal saya tidak hanya tentang paparan di atas. Terdapat sekumpulan anak kecil yang setiap sore bersenda gurau menuju musholla. Mereka dengan semangatnya mengikuti kegian belajar mengajar di musholla. Ustad atau ustadzah biasanya dengan senang hati mengajar mereka mengaji dari iqro' (Al-Qur'an kecil) sampai khatam. Nah, ketika sudah ada anak yang khatam 30 juz Al-Qu'an, akan diikutsertakan dalam acara khotmil Qur'an di bulan Maulud Nabi Muhammad SAW.. Biasanya orang desa akan menyembelih hewan untuk merayakan syukuran ini, misalnya menyembelih ayam, kambing ataupun sapi bagi yang punya rejeki berlebih, atas rasa bersyukur karena anaknya sudah bisa membaca Al-Qur'an dan khatam.
      Guru ngaji yang dari dulu mengajari dengan ikhlas tanpa pamrih, kini mendapat perhatian khusus oleh pemerintah, termasuk juga desa Wringin. Setiap musholla dan masjid wajib di data jumlah muridnya dengan di sertakan bukti fisik berupa foto pada saat kegiatan belajar mengajar. Kemudian data tersebut di proses oleh pihak yang dibei amanah, kemudian guru ngaji mendapat apa yang seharusnya mereka miliki. Jika di tahun 2018 lalu guru ngaji yang berhasil di verifikasi dengan minimal jumlah murid 5 orang, kini sudah tidak ada ketentuan seperti itu lagi. Pemerintah tidak hanya memerhatikan jasa guru ngaji, begitupun dengan keadaan musholla atau masjid yang kurang layak, pemerintah juga menurunkan bantuan dana demi kenyamanan masyarakat untuk menjalankan kegiatan sosial keagamaan.
      Demikian kondisi sosial keagamaan di daerah Wringin yang bisa saya uraikan. Masih banyak lagi perwujudan sosial keagamaan yang terjadi di desa Wringin ini, misalnya syukuran khitanan, tahlilan selama 7 hari orang meninggal, tahlilan di hari ke 40, 100, 1000 nya orang meninggal, selametan desa, aqiqah, ojung (ritual permintaan turun hujan) dan lain sebagainya. Semoga adanya artikel ini bisa bermanfaat bagi pembaca, jika ada kesalahan kata maupun kesalahan tafsiran dalam mengungkapkan sebuah pernyataan, di mohon kritik dan sarannya. Terimakasih bagi yang sudah mampir membaca sekilas tentang artikel ini, dan sampai jumpa di artikel selanjutnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI