Mohon tunggu...
Rahmah Raini Jamil
Rahmah Raini Jamil Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Tenanglah seperti air

Selanjutnya

Tutup

Politik

Relasi Antara Agama dan Politik

8 Maret 2020   22:11 Diperbarui: 8 Maret 2020   22:10 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Relasi Antara Agama Dan Politik

            Dalam kehidupan kita sehari-hari tentunya sudah tidak asing lagi dengan kata agama dan politik. Tak terhitung lagi artikel maupun buku buku yang memperbincangkan tentang agama dan politik. Isu ini sering menjadi topik diskusi yang masih mencari titik temu. Bagaimana relasi antara agama dan politik dari masa ke masa. Dalam artikel ini akan saya paparkan sedikit tentang apa itu agama dan politik.

            Yang awalnya dalam dunia kesejarahan dari abad ke abad terdapat kutipan bahwa politik dilahirkan oleh agama. Jejaring kekuasaan merupakan misi Rasul Tuhan dengan agama yang dibawa, serta dalam menyebarkan dan mewujudkan dokrinnya. Hingga disimpulkan bahwa agama mesti memiliki kekuasaan politik. Dapat kita tela’ah pada kisah nabi Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad yang menyebarkan agama melalui kekuasaan politik. Umat pada masa itu sangat menghormati pimpinannya dan secara otomatis mereka ikut dalam ajaran nabi tersebut. Meskipun tidak semuanya setuju pada ajaran agama, seringkali nabi mendapatkan masalah dalam kekuasaan politik ini.

            Setelah nabi Muhammad SAW. pindah ke Madinah, beliau pernah menyusun kontrak sosial politik yang disebut dengan nama “Piagam Madinah”. Di dalamnya memuat aspek-aspek kehidupan, baik tentang keberagaman maupun soal kebijakan politik mengatur masyarakat yang plural. Akan tetapi, sekarang bagaimana ajaran-ajaran Islam mampu terimplikasikan dalam segala persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nabi juga memiliki warisan yaitu komunitas politik religius yang berpusat di Madinah, yang harus selalu dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut sudah cukup logis dan historis bahwa politik dari zaman Rasulullah SAW. ada hubungannya dengan agama.

            Dalam memperbincangkan relasi agama dan politik ini, terdapat dua arus pemikiran yang mendasar. Pertama, pemikiran yang menyatakan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang bersifat universal. Islam dianggap sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah agama, tetapi mencakup semua aspek kehidupan termasuk didalamnya yaitu al-Islam dinun wa daulah. Kedua, ada yang berpendapat bahwa tidak ada bukti jelas mengenai ajaran islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. mengharuskan orang islam untuk mendirikan negara Islam.

            Agama adalah candu bagi masyarakat (religion is opium for public) yang dikatakan oleh Karl Marx (1886). Agama merupakan sebentuk dari sentimen pribadi yang dibentuk dari sebuah proses relasi sosial yang rigid. Hal itulah yang memungkinkan proses transenden dalam pemaknaan agama dikreasi untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompok. 

            Presiden Mesir pernah mengatakan “Jika agama dicampur dengan politik, maka politiknya rusak. Jika politik dicampur dengan agama, maka agamanya rusak.” Hal ini mennggambarakan seakan-akan agama dan politik bertolak belakang. Kenapa? Karena agama itu  mengajak kita kepada kemaslahatan dan mendekatkan diri kita kepada yang maha kuasa. Sedangkan sebagian politisi dalam kenyataannya bertolak belakang dengan agama. Jadi tidak perlu memasukkan agama dalam politik dan tidak perlu memasukkan politik dalam agama. Bisa jadi ada orang atau politisi yang menggunakan agama untuk meraih kepentingan politiknya, meraih kekuasaan yang di damba-dambakannya. Jika sudah seperti itu, maka itu tidak benar. Parahnya, hal ini sudah kerap terjadi di negeri ini, bahkan di negeri manapun, hal serupa sering terjadi. Mereka cenderung melakukan berbagai cara untuk meraih tujuan politiknya, bahkan menghalalkan berbagai cara dengan medium apapun termasuk agama yang sangat mudah dijadikan perantara dan mudah di tafsirkan bermacam-macam. Karena agama seringkali dikaitkan dalam permasalahan, maka dari sisi agama ada yang mengatakan “Hati-hati dengan politik, politik itu candu.”

            Dengan pernyataan dari presiden Mesir tersebut, apakah agama dan politik bisa beriringan? Dalam kalangan pemuka agama menjelaskan, islam tidak bertentangan dengan politik, bahkan di dalam ajaran islam terdapat politik. Tetapi dalam pengertian politik yang sesuai dengan syariat agama. Di sisi lain, politik dalam kehidupan sekarang seringkali bertentangan dengan langkah-langkah ajaran agama. Inilah alasan kenapa masyarakat menganggap bahwa agama bertentangan dengan politik yang padahal tidak.

            Sebagai contoh politik uang atau politik perut. Politik uang adalah salah satu siasat yang digunakan calon legislatif untuk meraih tujuannya. Suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang, baik menggunakan uang, barang sembako, maupun barang lainnya. Politik uang ini merupakan sebuah pelanggaran dalam kampanye. Umumnya dilakukan oleh kader, pengurus partai politik menjelang pemilihan umum. Dasar hukum dari pelanggaran tersebut adalah pasal 73 ayat 3 Undang-Undang No. 3 tahun 1999 yang berbunyi : “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”

             Kabar terkini yang terjadi di negeri kita sendiri adalah permasalah politik uang yang terjadi pada tahun pilkada yaitu tahun 2019 kemarin. Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM pernah merilis hasil penelitian tentang politik uang dalam Pemilu 2019. Terdapat 3 objek yang diteliti mengenai isu tersebut. Salah satunya, survei pemilih terhadap politik uang. Pertama, adalah faktor politik. Politik uang ini terjadi karena calon legislatif ingin menang tetapi tidak memiliki program. Kedua, yakni faktor hukum, lemahnya regulasi politik uang pada pemilihan umun menjadi sebuah perbandingan, karena pada pilkada, pemberi maupun penerima politik uang sama sama mendapatkan sanksi. Sedangkan pada pemilihan umum sekarang, hanya pemberinya yang mendapatkan sanksi. Yang ketiga, adalah faktor budaya, kebiasaan masyarakat yaitu jika ada pemberian maka harus diterima dan tidak pantas untuk ditolak. Sehingga politisi masa kini, memanfaatkan itu semua.

            Selain politik uang yang terjadi dari masa ke masa, terdapat juga gerakan radikal. Indonesia, melakukan penolakan terhadap gerakan radikal tersebut. Yang ditunjukkan melalui keengganan mereka berjuang melalui sistem partai politik (parpol). Bagi mereka, keterlibatan dalam sistem partai politik berarti mereka melegitimasi sistem demokrasi yang mereka tolak. Konsekuensinya adalah program amar ma’ruf nahi munkar yang dijalankan mereka tidak bisa disuarakan melalui jalur-jalaur politik formal, seperti melalui media sosial-kemasyarakatan seperti internet, tabloid dan kajian-kajian yang ada dikalangan mereka. Dalam menjalankan aksi amar ma’ruf nahi munkar, kelompok radikal ekstrem tidak segan-segan melakukan cara-cara kekerasan seperti penghancuran fasilitas, penyisiran tempat-tempat hiburan, penutupan paksa dan sebagainya.

            Fenomena selanjutnya yaitu munculnya sejumlah pendukung gerakan Islamic State of Iran and Sham (ISIS/NIIS) yang terlihat secara sporadis di beberapa daerah seperti Sukoharjo, Malang, Tangerang, Surabaya, dan lain-lain.[1] Dukungan yang mereka berikan berupa penggalangan bantuan dana dan pengiriman mujahid yang akan membantu para pejuang ISIS di wilayah konflik. Hingga banyak WNI yang yang tertarik, bukan hanya karena faktor ideologis tetapi juga karena faktor ekonomi yang mengiming-imingi gaji bulanan dan jaminan kesejahteraan bagi keluarga pejuang. Kenyataannya gerakan radikal di Indonesia dan juga di negara-negara lain mengingatkan pada teori “jebakan demokrasi” (democracy trap).[2] Yakni, rezim demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menjalankan aksinya untuk merebut politik-kekuasaan pada ujung pergerakannya.  

            Di Indonesia, kebijakan negara terkait penanganan radikalisme dan terorisme banyak mengalami resistensi dari sebagian ummat Islam, khususnya dikalangan radikal sendiri, mengingat upaya penumpasan kelompok radikal hanya didasarkan pada satu pendekatan saja, yakni melalui pendekatan keamanan (security approach).[3] Selain melalui security approach melalui Densus 88, memang ada program deradikalisasi melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).[4] Namun demikian, eksistensi lembaga ini juga banyak menerima kritikan. Salah satu kritikannya adalah tidak jelasnya cakupan kerja dan bentuk-bentuk program yang tidak menjadikan kelompok radikal sebagai target utama. 

            Jika dilihat dari perspektif kaum radikal, salah satu argumentasi mengapa mereka menolak demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 memang karena ketiganya dianggap sebagai hasil ciptaan manusia. Sementara itu, negara khalifah dan Syari’ah dianggap sebagai representasi sistem politik-bernegara autentik yang berasal dari wahyu Tuhan yang terekam dalam kitab suci (Al-Qur’an dan Hadis). Jika keduanya mengajukan hal tentang kitab suci, maka keduanya tentu saja tidak mengindahkan kesejarahan dalam aspek penting pengambilan keputusan hukum.

            Perbincangan tentang relasi agama dan politik dapat kita simpulkan dengan pola pikir yang berbeda disetiap manusia.  Harus diakui bahwa relasi agama dan politik sendiri sangatlah resiprokal dan memiliki proses tarik-menarik yang cukup kuat antar keduanya. Agama bisa mempengaruhi dan terpengaruhi oleh politik dalam artian luas maupun kecil. Anasir Marx tentang agama adalah candu, sebenernya merupakan bentuk kritikan terhadap agama itu sendiri.

            Sebagai contoh diatas, tentang politik uang yang memang harus kita hindari. Politik uang ini sangat merugikan bagi mereka yang benar-benar berjuang untuk memimpin suatu daerah. Politik uang merupakan sebuah pelanggaran yang terjadi di kalangan politik. Bukan hanya di negeri ini, bahkan di negara manapun juga sering terjadi. Agama itu tidak bertentangan dengan politik, namun politisi lah yang seringkali melanggar syari’at-syari’at agama. Bahkan politisi lah yang sering bertetntangan, bukan politik.

            Selain itu, gerakan radikal cenderung mengajak Indonesia untuk berjuang melalui partai politik, tetapi Indonesia menolaknya. Karena di anggapnya kelompok radikal memanfaatkan demokrasi untuk menjalankan aksinya untuk merebut politik-kekuasaan. Sehingga muncullah beberapa kebijakan dengan menerapkan  pendekatan keamanan (security approach).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun