Oleh : Miftahurrahmah
Studi Agama Agama / UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Adanya transformasi agama merupakan langkah awal proses terjadi budaya selalu bisa di selenggarakan dengan konsep akulturasi dengan kepercayaan masyarakat kala itu. Pada umumnya, mereka belum mengenal islam,agam, dan Tuhan. Pada kala itu, masyarakat terdahulu melakukan sebuah perkawinan yang di sebut perlawinan badal yaitu tukar menukar istri, dan perkawinan alsyigar yaitu perkawinan paksa dengan cara tukar menukar saudara atau anak perempuan. Dalam hal inilah peran islam yang menghapaus segala bentuk perkawinan dalam bentuk tersebut. Berbicara tentang perkawinan, suku Sumba memiliki tradisi "Kawin tangkap" atau kata lainnya sering disebut (Piti Rambang) dilaksanakan secara terus menerus.
Merujuk pada buku masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya yang ditulis oleh Oe. H. Kapita, kawin tangkap merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan dalam adat masyarakat Sumba. Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki akan "menangkap" calon mempelai perempuannya untuk kemudian dilamar dan dinikahi. Dalam tradisi aslinya, kawin tangkap sebenarnya sudah direncanakan dan disetujui terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. Prosesnya pun melibatkan simbol-simbol adat, seperti kuda yang diikat atau emas dibawah bantal sebagai simbol bahwa prosesi adat tersebut tengah dilaksanakan. Perempuan yang akan ditangkap juga sudah mempersiapkan diri dengan berdandan dan mengenakan pakaian adat lengkap.Â
Proses resmi peminangan baru resmi dimulai setelah calon mempelai perempuan setuju untuk menikah, yang kemudian disusul penyerahan belis (mahar perkawinan). Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini kita sering mendengar proses kawin tangkap ini disertai dengan paksaan, intimidasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan mengatas namakan adat atau tradisi. Adanya pemaksaan perkawinan kepada perempuan Sumba yang mengakibatkan korban mengalami kekerasan secara fisik, seksual, psikis dan sosial. Perkawinan tersebut terjadi atas dasar paksaan salah satu pihak. Perkawinan adat ini disinyalir adanya kesenjangan antara keharusan dalam hukum positif dengan tradisi maupun adat, yang dimana perkawinan ini menghasilkan kekerasan dan ketidakadilan terhadap semua perempuan yang menyebabkan perempuanperempuan Suku Sumba merasa sakit dan trauma dalam kurung waktu yang cukup lama. Â
Masyarakat adat Suku Sumba yang masih patriarki mendukung pihak laki-laki untuk melakukan perkawinan tersebut, budaya ini seolah-olah menempatkan perempuan Sumba sebagai kaum yang rendah dan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik dan seksual. Kekerasan kawin tangkap merupakan bukti bahwa perempuan tidak bebas untuk menjalani kehidupannya sendiri dan menetukan pilihannya sendiri dan menetukan masa depan mereka sendiri.
Dalam Islam, ia diciptakan oleh Tuhan secara fitrahnya yaitu bersifat feminism, lembut,dan tidak mempunyai tenaga yang kuat dibandingkan laki-laki. Yang paling dominan, ia mempunyai kelebihan mempunyai perasaan yang kuat, penyabar,dan hati yang lembut. Dan itulah hikmah kenapa wanita dalam islam memikul beban dalam mendidik anak-anak, dan menjadi peran penting dalam rumah tangga, wanita berhak untuk dikasihi dan disayangi, diperlakukan dengan baik. Pada zaman sebelum datangnya Islam, wanita dihina, disiksa, di perlakukan dengan kasar. Tetapi ketika daatangnya islam menghilangkan semua kebiasaan dan budaya yang menindas sorang wanita.
Dalam Islam mengajarkan untuk melakukan dan mempergauli sang istri secara lembut, halus, tidak memukul, kassar dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman "Pergauilah mereka (para istri) dengan baik" (An-Nisa : 19). Semua itu, demi mengangkat derajat perempuan, memuliakannya, memberi hak penuh terhadapnya, menghilangkan dan menyelamatkan dari keterpurukan, kehinaan, cacian, kerendahan, diskriminasi, intimidasi dan sagala hal yang ditimpa oleh perempuan. Faktor Berpengaruh Terhadap Kawin Tangkap (Piti Rambang) Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur ialah karean ekonomi terkait utang, strata sosial, Pendidikan, maupun , kepeercayaan. Terjadinya karena ada persetujuan dari pihak oranng tua perempuan dan pihak lakilaki. Berdasarkan penjelasan pembahasan dapat disimpulkan :Â
Bahwa keberadaan tradisi kawin tangkap (Pitti Rambang) Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur masih ada dan dilakukan secara terus-menerus sampai sekarang. Faktor---faktor yang berpengaruh terhadap tradisi kawin tangkap (Piti Rambang) Suku Sumba disebabkan karena faktor ekonomi terkait hutang pihak perempuan bahwa anak mereka menjadi tebusan kepada pihak laki-laki yang termasuk dalam keturunan raja (bangsawan) dengan pendidikannya yang tinggi, dan yang terakhir ada faktor kepercayaan yang artinya yang artinya bahwa dengan mereka melakukan Pitti Rambong tersebut ada keterkaitan lokal yaitu menuju untuk menghormati roh leluhur untuk menetukan hidup mereka dengan adanya perlindungan dan ketentraman dari nenek moyang.Â
Daftar PustakaÂ
 https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jukonhum/article/view/3674/2665  https://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Kemulian-Wanita-di-dalam-Islam
 https://magdalene.co/story/kawin-tangkap-kekerasan-dan-tradisi-yang-problemati