Mohon tunggu...
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa Mohon Tunggu... Freelancer - Writer, Psychologist

Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan psikolog pendidikan lulusan Universitas Gadjah Mada. Menulis tentang psikologi, tumbuh kembang, keluarga, perkembangan moral, pendidikan, sosial, dan refleksi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Keluarga Rentan bukan Hanya Soal Ada atau Tidaknya Orangtua, tapi...

24 Juni 2023   20:05 Diperbarui: 24 Juni 2023   20:07 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, Rosa dan dua orang temannya saling bercerita tentang kehidupan mereka seperti biasa, hingga akhirnya percakapan mereka semakin mendalam, dan berujung pada pembahasan tentang hubungan mereka dengan orang tua dan bagaimana dampaknya terhadap pribadi mereka.

Salah satu teman Rosa menceritakan kehidupannya sebagai anak dari orang tua yang bercerai. Dan temannya yang lain menceritakan kehidupannya sebagai anak piatu yang kehilangan ibunya saat masih belia.

Rosa mendengarkan cerita keduanya dengan khidmat. Melalui percakapan tersebut, ia menjadi lebih memahami dinamika kehidupan teman-temannya. Dan ia semakin paham bahwa mereka telah melalui kehidupan yang tidak mudah. Ia kagum pada mereka.

Hingga kemudian, giliran Rosa bercerita tiba. Ia memulainya dengan, “Sampai sekarang orang tuaku masih ada,”

Cerita Rosa terpotong saat temannya memberikan komentar, “Wah itu harus disyukuri banget, tuh,”

Rosa paham mengapa temannya memberikan komentar demikian, karena memang kondisi orang tua kedua temannya tidak lengkap. Dan ia juga menyadari bahwa kondisinya adalah hal yang memang pantas untuk disyukuri.

Meskipun begitu, dalam hati, Rosa juga terbersit, “Apakah itu menentukan bahwa kondisiku lebih baik dari mereka? Aku tidak yakin.”

Kedua orang tua Rosa memang masih ada, dan hubungan pernikahan mereka memang masih berlangsung. Namun, mengapa ia tidak merasa kehadiran kedua orang tuanya sesignifikan itu? Ia bahkan pernah bertanya-tanya, apa jadinya nanti ketika orang tuanya dipanggil berpulang? Apakah ia akan sangat merasa kehilangan? Apakah akan ada yang berubah dari hidupnya? Ataukah, akankah kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupannya selama ini karena ia cenderung merasa ‘hidup sendiri’?

Atau, bagaimana bila orang tua Rosa bercerai, dan ia hanya tinggal dengan salah satu dari keduanya? Bukankah justru itu akan menyenangkan baginya? Setidaknya, ia tidak perlu mendengarkan dan menyaksikan pertengkaran mereka setiap hari hanya untuk hal-hal sepele yang, menurutnya, tidak layak diperselisihkan untuk orang dewasa. Setidaknya pula, ia tidak harus menjadi penengah di saat mereka bertengkar, karena menenangkan diri dan menahan diri di situasi yang penuh emosi semacam itu sungguhlah melelahkan, apalagi untuk menangkan keluarganya yang sedang bertengkar. Ia juga ingin marah pada mereka, atau ikut berteriak, namun ia tahu bahwa itu akan memperpanas keadaan, jadi ia selalu mencoba bersikap tenang dan mendengarkan percekcokan mereka. Atau setidaknya, ia tidak perlu mendengarkan cibiran atau keluhan mereka untuk satu sama lain. Mengapa seorang ibu harus menceritakan kejelekan ayah kepada anaknya? Atau mengapa seorang ayah juga menceritakan kejelekan ibu kepada anaknya? Apakah mereka tidak memikirkan apa yang akan dirasakan seorang anak yang menyaksikan kedua orang tuanya saling menjelek-jelekkan? Saat mendengarkan ucapan-ucapan seperti itu, sejujurnya ia merasa benar-benar sendiri. Mengapa? Karena ia tidak mau memihak keduanya saat ia tahu bahwa tidak ada di antara mereka yang benar-benar pantas untuk dipihak. Haruskah seorang anak memilih untuk berada di sisi ibunya saja atau ayahnya saja? Pun setidaknya, ia juga tidak perlu mendapatkan permintaan untuk menjadi ‘pengantar pesan’ dari ibu ke ayah atau sebaliknya. Apa yang membuat mereka berpikir bahwa ketika ia yang menyampaikan pesan tersebut, maka itu akan seketika membuat penerima pesan menjadi berubah? Apa yang akan ia rasakan saat ia tahu bahwa pesan yang ia sampaikan tidak mengubah apapun? Bukankah itu beban yang sungguh berat bagi seorang anak? Mengapa mereka melemparkan tanggung jawab mereka pada anak mereka, di saat mereka sendiri tidak bisa menjalankan tanggung jawab tersebut?

Kedua orang tua Rosa memang tidak berpisah, namun hubungan keduanya juga tidak benar-benar membaik sejak dahulu. Ketika berada di rumah, hampir setiap hari ia akan menyaksikan perselisihan mereka. Tiap detik bisa menjadi kesempatan untuk perdebatan mereka, dan tiap kejadian bisa menjadi pemicu pertengkaran mereka. Saat berada di antara mereka, ia sungguh merasa tidak aman. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha menjaga situasi dalam keluarga agar tidak memanas, dan itu ia lakukan dalam kondisi waspada karena bom waktu pertengkaran bisa saja meledak kapanpun. Selama bersama pun, ia dan orang tuanya juga jarang mengobrol yang hangat. Mereka jarang sekali menanyakan kondisinya dan perasaannya, dan ia juga merasa tidak memiliki alasan untuk banyak bercerita ke mereka. Saat ia pulang ke rumah, biasanya mereka hanya akan menyambutnya singkat, kemudian kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Dan terkadang itu membuatnya merasa semakin sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun