Mohon tunggu...
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa Mohon Tunggu... Freelancer - Writer, Psychologist

Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan psikolog pendidikan lulusan Universitas Gadjah Mada. Menulis tentang psikologi, tumbuh kembang, keluarga, perkembangan moral, pendidikan, sosial, dan refleksi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pola Asuh "Secure Attachment" sebagai Bekal Mendasar bagi Anak dalam Mempersiapkan Eksplorasi Pendidikan

7 Juli 2019   10:46 Diperbarui: 7 Juli 2019   11:27 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem pendidikan di Indonesia merupakan hal penting yang hingga kini masih menjadi konsentrasi perbaikan oleh pemerintah. Upaya perbaikan tersebut terlihat dari banyaknya usaha pembenahan dan pengembangan sistem pembelajaran yang efektif sebagainsolusi atas permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. 

Berbagai model pembelajaran telah diterapkan dengan memperhatikan aspek kualitas dari masing-masing model pembelajaran. Aspek kualitas tersebut tercermin melalui proses pendidikan yang berlangsung, meliputi efektifitas peran pihak sekolah, peserta didik, maupun pihak lain yang terkait. 

Untuk meningkatkan kualitas tersebut, pemerintah menerapkan berbagai pendekatan dalam pengajaran. Salah satu pendekatan yang kini menjadi fokus dunia pendidikan adalah sistem pembelajaran aktif.

Sistem Pembelajaran Aktif di Indonesia

Pembelajaran aktif (active  learning) merupakan segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan peserta didik berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri, baik dalam bentuk interaksi antara peserta didik dengan peserta didik, maupun antara peserta didik dengan guru (Machmudah, dalam Shary, 2015). 

Bentuk pembelajaran ini menekankan pada pengembangan keterampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik yang dibahas. Bonwell (dalam Trisdiono, 2015) menjelaskan bahwa pembelajaran aktif ditandai dengan adanya aktivitas bertanya, membaca, berdiskusi, menulis, melatih berbagai keterampilan, mengeksplorasi sikap dan nilai-nilai, dan mengembangkan kecakapan berpikir tingkat tinggi. 

Siswa diharapkan mampu berperan sebagai partisipan aktif dalam pembelajaran, menentukan cara mereka belajar, membangun pengetahuan dan keterampilan baru, memantau pembelajaran mereka sendiri, bekerja sama dengan siswa lain, serta melaksanakan pembelajaran otentik (Trisdiono, 2015). 

Dengan demikian, guru tidak mendominasi dalam proses pembelajaran, melainkan peserta didik yang lebih banyak melakukan aktivitas belajar sehingga mampu terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

Menurut Trisdiono (2015), sistem pembelajaran di Indonesia mengacu pada tiga capaian ranah pembelajaran, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor. Hal ini merupakan dasar dari aktivitas yang diperlukan dalam sistem pembelajaran. 

Ada beberapa aktivitas yang perlu berlangsung  dalam  sistem  pembelajaran aktif, yaitu: (1) pengamatan oleh siswa; (2) pemahaman oleh siswa, melalui diskusi, pembuatan produk, dan mempresentasikan hasil belajar; (3) penguatan oleh guru; serta (4) pengecekan pemahaman siswa atas materi oleh guru.

Bentuk pembelajaran aktif mulai diterapkan di Indonesia dengan diberlakukannya Kurikulum  2013. Dalam penerapannya, bentuk pembelajaran ini menekankan pada kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran inovatif. 

Berbagai inovasi pembelajaran dikembangkan untuk meningkatkan ketertarikan dan keterlibatan peserta didik dalam proses belajar. Namun, hingga kini fungsi pembelajaran aktif masih belum dapat diterapkan secara maksimal. Kondisi di lapangan menunjukkan berbagai kendala yang masih dijumpai dalam pelaksanaan proses pembelajaran aktif tersebut.

Salah satu kendala terbesar yang menghambat implementasi proses pembelajaran aktif adalah peserta didik yang  cenderung pasif, meskipun model pembelajaran telah didesain untuk melibatkan seluruh peserta didik. 

Peserta didik yang semestinya mengembangkan kecakapan berpikir melalui latihan analisis, sintesis, evaluasi, dan mencipta (Trisdiono, 2015), belum mampu memanfaatkan fasilitas sistem pembelajaran secara maksimal. 

Siswa yang pasif dalam proses pembelajaran ditandai dengan keengganan untuk berpendapat, tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan ide atau gagasan, tidak berpartisipasi aktif, percaya diri yang rendah, serta kurangnya kreativitas dalam belajar (Rizkina, 2013). Hal ini disebabkan karena kurangnya motivasi belajar peserta didik untuk menguasai materi pelajaran (Prabawati, 2016).

Motivasi Belajar Anak

Menurut Santrock (dalam Damanik, 2010), motivasi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah ketika seseorang melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain, seperti imbalan atau hukuman. 

Sedangkan motivasi intrinsik yaitu ketika seseorang melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri. Dalam hal belajar, motivasi intrinsik terlihat ketika peserta didik belajar karena kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan dari sistem pembelajaran yang ada.

Menurut Marsudi (dalam Wicaksono, 2017), motivasi belajar adalah daya penggerak psikis dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan belajar sehingga timbul perubahan energi dalam diri mereka dan menjadikan dorongan untuk melakukan kegiatan belajar. 

Wicaksono (2017) juga menjelaskan bahwa motivasi belajar intrinsik berperan lebih kuat daripada motivasi belajar ekstrinsik. Siswa  yang memiliki motivasi belajar intrinsik yang tinggi dapat terlihat melalui keaktifan dalam pembelajaran, meliputi berani bertanya ketika tidak paham mengenai suatu materi, mengerjakan tugas sebaik-baiknya, dan memanfaatkan waktu luang untuk membaca buku literatur  untuk menambah pengetahuan mereka. 

Dengan demikian, motivasi belajar intrinsik perlu dikembangkan pada anak, ditunjang dengan penciptaan kondisi yang mendukung anak dalam mengembangkan kemampuannya untuk menyalurkan keingintahuan mereka.

Penerapan sistem pembelajaran aktif di Indonesia selama ini belum menekankan pada pengembangan motivasi intrinsik. Pada dasarnya, motivasi intrinsik perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran. 

Hal ini dapat menjadi bekal awal dalam mencapai keberfungsian sistem  pembelajaran aktif. Peserta didik yang memiliki keinginan kuat untuk menguasai bahan pembelajaran akan mampu berusaha mengembangkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar mereka sehingga tercipta suatu kreativitas, di mana terlepas dari keberadaan fasilitas yang telah tersedia. Adanya kondisi ini akan mampu mengurangi faktor dominansi guru dalam interaksi pembelajaran yang telah diterapkan.

Berdasarkan hasil penelitian Hafzah (2014), ada berbagai kendala dalam proses pembelajaran yang menyebabkan rendahnya motivasi belajar peserta didik, seperti kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pihak pengajar dan pihak yang belajar, sulitnya mata pelajaran, kurangnya perhatian dari pihak pengajar, serta cara penyampaian materi yang membosankan. 

Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan keberadaan motivasi eksternal. Ketika peserta didik memiliki motivasi intrinsik dalam belajar yang rendah kemudian tidak mendapatkan faktor eksternal pendukung proses pembelajaran, maka hal tersebut akan mampu menimbulkan rendahnya motivasi peserta didik dalam mengeksplorasi pendidikan.

Brophy (dalam Hafzah, 2014) menjelaskan bahwa motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategi yang berkaitan dalam mencapai tujuan belajar tersebut. Hal itu berarti bahwa peserta didik perlu menemukan tujuan mereka belajar terlebih dahulu untuk mampu menciptakan strategi pembelajaran yang sesuai. 

Dengan mengenali lebih awal terhadap tujuan dari proses belajar, maka peserta didik akan mampu mempersiapkan diri atas kendala-kendala yang menghambat tujuan pembelajaran mereka untuk dapat terpenuhi.

Kegigihan dalam mencapai tujuan pembelajaran perlu ditanamkan pada peserta didik sejak dini. Dalam proses tersebut, dibutuhkan adanya keberanian dalam  menjalankan strategi pembelajaran. 

Selain itu, perasaan aman diperlukan sebagai dasar dari keberanian peserta didik  agar dapat mengeksplorasi hal yang ingin mereka kuasai secara maksimal. Perasaan aman tersebut perlu diciptakan sedini mungkin, terutama dari orang-orang terdekat mereka.

Pola Asuh Secure Attachment sebagai Bekal Pembelajar Aktif

Berdasarkan Bronfenbrenner's Ecological Theory of Development (dalam Santrock, 2014), keluarga berada pada lingkup mikrosistem anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga merupakan caregiver di lingkungan terdekat anak yang memberikan pengaruh terbesar di awal perkembangan. 

Pada dasarnya, keluarga terdiri dari orang tua. Peran orang tua inilah yang memberikan  bekal mendasar kepada anak, yang meliputi tumbuhnya perasaan
aman pada anak.

Malekpour (2007) menyatakan bahwa pengalaman di awal kehidupan sangat memengaruhi perkembangan seseorang selanjutnya. Pengaruh pengalaman ini meliputi berbagai aspek, yaitu kognisi, perilaku, kemampuan sosial, respon emosional, dan kepribadian. 

Menurut Bowlby (dalam Malekpour, 2007), pengalaman awal dengan caregiver menjadi acuan anak-anak dalam mengeneralisasi harapan dan kepercayaan terhadap diri sendiri, dunia, maupun hubungan. 

Ketika anak-anak mendapatkan rasa aman di pengalaman awalnya, maka ia akan mampu  melihat  dunia dengan rasa aman.  Hal ini didukung dengan pernyataan Shonkoff dan Phillips (dalam Malekpour, 2007) bahwa perkembangan awal seseorang mendukung perubahan bertahap dari ketergatungan ekstrem kepada orang lain untuk mengelola dunia menjadi kemampuan diri sendiri menghadapi dunia.

Setiap orang tua memiliki cara mengasuh yang berbeda. Menurut Ainsworth (dalam Gazzaniga, 2012), ada tiga jenis pola asuh caregiver kepada anak, yaitu secure  attachment, avoidant attachment, dan anxious-ambivalent attachment. 

Pola asuh secure attachment ditandai dengan bayi yang langsung merasa nyaman ketika caregiver kembali setelah pergi. Pola asuh avoidant attachment  ditandai dengan bayi yang tidak mempedulikan keberadaan caregiver. 

Sedangkan pola asuh  anxious ambivalent attachment  ditandai dengan bayi yang mencari sekaligus menolak keberadaan caregiver. Jenis-jenis pola asuh tersebut berhubungan dengan rasa aman yang diberikan orang tua kepada anak dalam mengeksplorasi lingkungan di sekelilingnya.

Ainsworth (dalam Malekpour, 2007) menjelaskan bahwa anak yang aman (secure) cenderung menunjukkan reaksi berupa protes ketika caregiver meninggalkannya. Respon protes ini ditunjukkan dengan rasa stress, berhenti bermain atau bereksplorasi, serta penolakan terhadap orang dewasa  asing. 

Ketika caregiver kembali, anak tersebut akan menyambut secara hangat dan cenderung mendekat kepada caregiver, menjadi lebih tenang, dan kembali bermain. 

Respon tersebut merupakan hasil dari pola asuh  secure attachment orang tua, yang ditandai dengan berbagai usaha untuk membuat anak merasa aman, seperti memeluk anak, menenangkan ketika menangis, menjaga agar tetap hangat, melindungi, dan
memberi makan (Bowlby, 1988).

Pola asuh secure attachment menggunakan caregiver sebagai sumber rasa aman bagi anak  dalam  mengeksplorasi  lingkungan  sekitarnya  (Gazzaniga, 2012).  Jika sejak kecil perasaan aman anak dapat terpenuhi, maka anak akan merasa nyaman dalam menghadapi lingkungannya, termasuk  ketika memenuhi rasa keingintahuannya atas hal-hal  yang inginmereka pelajari. 

Hal ini juga dijelaskan dalam Malekpour (2007), bahwa anak yang memiliki kelekatan yang baik dengan caregiver cenderung lebih aktif dalam mengeksplorasi lingkungannya karena dilindungi oleh kepercayaan kepada caregiver sebagai sumber perasaan aman bagi mereka.

Kelekatan anak pada orang tua, sebagai hasil dari pola asuh secure attachment, memberikan pengaruh  terhadap perkembangan emosi, kognitif, dan fisik (Malekpour, 2007). 

Thompson (dalam Malekpour, 2007) menambahkan bahwa anak yang aman (secure) cenderung lebih percaya diri dalam menghadapi tekanan teman sebaya. 

Anak juga cenderung lebih independen, dimana meminta bantuan guru hanya bila mereka membutuhkannya (Sroufe, dalam Malekpour, 2007). Malekpour (2007) juga menjelaskan bahwa independensi tersebut akan membantu anak dalam mencapai kompetensi yang lebih besar dengan menghadapi pengalaman berikutnya. Ini merupakan bukti bagi anak dalam mengembangkan keberanian dan kegigihan untuk menjadi pembelajar aktif yang sesungguhnya.

Pola asuh secure attachment merupakan usaha pelengkap dari penerapan konsep pembelajaran aktif di Indonesia. Pola asuh ini merupakan upaya dasar dalam membentuk pembelajar-pembelajar aktif yang berkeinginan kuat dalam mengeksplorasi ilmu pengetahuan. 

Adanya penekanan terhadap pentingnya pola asuh secure attachment ini juga ikut mempersiapkan pembentukan sistem pembelajaran aktif beberapa tahun mendatang.

Sehingga, masyarakat akan mampu mencetak generasi dengan motivasi internal belajar yang tinggi seiring dengan pembaharuan sistem pendidikan yang cenderung menekankan motivasi eksternal belajar peserta didik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun