Deru suara mesin jet pesawat semakin pelan. Sebagai tanda bahwa tidak lama lagi pesawat yang saya tumpangi akan landing di tempat tujuan. Benar. Suara merdu seorang pramugari mengumumkan bahwa dalam waktu tidak lama lagi pesawat akan mendarat, tetap kenakan sabuk pengaman, dan tegakkan sandaran kursi. Namun saya masih saja tetap terpana menyaksikan pemandangan indah nan elok yang berada di daratan. Saya memang sengaja memilih kursi yang dekat dengan jendela karena sejak dari Jakarta saya telah niat untuk mengambil foto daratan dari udara. Pemandangan yang saya lihat di bawah benar-benar membuat kepala ini kagum akan kondisi daratan daerah ini. Kagum akan kerusakan lingkungan sebagai akibat kegiatan pertambangan yang telah dilaksanakan selama bertahun-tahun lamanya.
Ya, perjalanan kali ini membawa saya melangkah ke sebuah daerah yang baru pertama kali saya kunjungi dan benar-benar ingin saya kunjungi. Sebuah ibukota Provinsi yang pernah mengalami masa kejayaan produksi timah di Indonesia. Bangka.
Untuk menuju Pulau Bangka, cukup banyak alternatif sarana transportasi yang disediakan. Namun pada kesempatan kali ini saya menggunakan sarana pesawat udara dengan waktu tempuh lebih kurang 1 (satu) jam perjalanan. Sebuah perjalanan yang dapat dikatakan tergolong cukup singkat. Saking singkatnya, pramugari hanya memberikan kotak berisi satu buah roti yang rasanya lumayan enaklah. Padahal biasanya kalau perjalanan agak lama, si mbak pramugari memberi paket makan besar secara cuma-cuma (tergantung maskapai penerbangannya lho..!). Namun, walaupun hanya dikasih sepotong roti, rasa penasaranku terbayar sudah ketika saya dapat menyaksikan secara lansung kondisi daratan pulau Bangka dari udara.
Selain terkenal dengan hasil sumber daya perikanannya, Bangka juga sangat popular dengan hasil tambang salah satu diantaranya ialah timah. Sejarah kegiatan tambang di Pulau Bangka telah dimulai sejak tahun 1709. Pada awalnya timah ditambang di sungai Olin, Kecamatan Toboali, oleh orang-orang Johor atas pengalaman mereka di semenanjung Malaka. Penemuan timah tersebut menjadi titik tolak ramainya pulau ini karena mulai disinggahi segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Hal tersebut mendorong Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke semenanjung Negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang terasa mulai diperlukan.
Hubungan dagang dengan VOC dalam rangka penjualan timah dimulai pada tahun 1717. Pada masa ini muncul bajak-bajak laut dan penyelundupan timah sehingga Sultan Palembang meminta bantuan kompeni untuk menumpas. Pada tahun 1755, pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timah dan lada di Bangka. Pada tahun 1722, VOC melakukan perjanjian yang sifatnya mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamarudin untuk mmbeli timah secara monopoli. Isi perjanjian tersebut yaitu :
- Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni;
- Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan. Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, dimana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah taklukannya menjadi jajahan Inggris. Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffless merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik “Devide et Impera”nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang denga gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812). Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama “Duke of Island” (20 Mei 1812).
Pada masa kolonial, Belanda mendirikan Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW), Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton (GMB), dan Singkep TIN Exploitatie Maatschappij (SITEM). Namun pada periode tahun 1953 – 1958, yaitu sejak masa kemerdekaan Indonesia, terjadi perubahan status perusahaan-perusahaan timah tersebut di atas. Pemerintah Indonesia mengalihkan tambang-tambang timah milik pihak swasta dari Belanda. BTW diubah menjadi PN Tambang Timah Bangka, GMB diubah menjadi PN Tambang Timah Belitung, dan SITEM diubah menjadi PN Tambang Timah Mentok. Pada tahun 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Negara Tambang-tambang Timah (BPU PN Tambang Timah) untuk mengkoordinasikan ketiga perusahaan tersebut. Selanjutnya di tahun 1962 dimulai proyek peleburan timah yang berlokasi di Mentok yang berada di Bangka Tengah (http://www.timah.com)
***