Di suatu desa kecil yang damai, di balik deretan pohon-pohon tinggi dan aliran sungai yang menyejukkan, ada sebuah warung kopi yang menjadi tempat berkumpul warga desa. Warung itu milik seorang wanita bernama Jelita. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, wajahnya tetap cerah, penuh kedamaian. Senyumnya tak pernah luntur, meskipun hidupnya penuh dengan cerita perjuangan yang tak mudah. Ibu Jelita bukanlah ibu kandungku, tetapi ia selalu menyebutku sebagai anaknya sendiri.
Aku pertama kali bertemu dengannya saat aku pindah ke desa ini beberapa tahun lalu, meninggalkan kota yang gemerlap, tempat di mana aku lahir dan tumbuh besar. Keputusan untuk berpindah bukanlah keputusan yang mudah. Kekecewaan besar menghampiriku setelah perpisahan yang tak terduga dengan seseorang yang kuanggap akan menjadi pasangan hidupku. Pekerjaan yang kutinggalkan di kota besar juga menjadi beban pikiranku. Aku merasa hampa, seolah dunia ini terasa asing. Semua yang kulakukan di kota terasa sia-sia. Hati ini rapuh, seakan sudah tak ada lagi yang bisa kuharapkan.
Suatu pagi, ketika aku berjalan pelan menyusuri jalanan desa yang penuh kesunyian, mataku tertuju pada warung kopi yang sederhana itu. Di dalamnya, tampak seorang wanita sedang menyapu lantai, mengatur meja dan kursi. Aku merasa sedikit canggung karena meskipun sudah beberapa minggu tinggal di desa ini, aku belum pernah berkenalan dengan pemilik warung tersebut.
Ibu Jelita mengangkat wajahnya saat aku masuk, dan senyumnya langsung menyambutku. Ada sesuatu yang hangat dari senyumannya, seolah-olah aku adalah orang yang sudah lama ia kenal. "Pagi, nak! Silakan duduk. Ada yang bisa Ibu bantu?" katanya dengan suara lembut, tanpa ada kesan terburu-buru.
Aku merasa sedikit terkejut, namun segera duduk di meja yang ditunjuknya. Waktu itu, aku hanya ingin menyendiri, namun tak tahu mengapa, aku merasa seperti rumah dalam diri Ibu Jelita. Tanpa sadar, aku mulai menceritakan beban yang aku rasakan---kehilangan pekerjaan, putus cinta, dan semua perasaan kosong yang ada dalam diriku. Aku merasa heran, karena selama ini aku jarang bercerita kepada siapa pun tentang hidupku yang kacau, namun dengan Ibu Jelita, aku merasa bebas mengungkapkan semua.
Ibu Jelita mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk, tetapi tidak menghakimi. Setelah aku selesai bercerita, ia memandangku dengan lembut dan berkata, "Nak, hidup ini memang penuh dengan ujian. Namun, ingatlah, setiap cobaan datang untuk menguatkan kita. Jangan pernah menyerah. Tuhan memiliki rencana yang lebih indah untukmu, meskipun saat ini kita belum bisa melihatnya."
Aku merasa terdiam, seolah kata-katanya langsung menyentuh relung terdalam hatiku. "Tapi, Ibu... aku merasa sangat lelah. Semua yang aku lakukan seakan sia-sia."
Ibu Jelita tersenyum dan menggenggam tanganku dengan lembut. "Nak, hidup tidak selalu berjalan mulus. Tapi, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Percayalah, rezeki itu akan datang pada waktunya, asalkan kita mau berusaha. Ibu mendoakanmu, semoga jalanmu semakin terang. Jangan berhenti berdoa dan berusaha."
Hari itu, aku pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Kata-kata Ibu Jelita seperti cahaya yang menerangi kegelapan dalam hidupku. Aku mulai mengunjungi warung itu lebih sering, setiap kali aku merasa terpuruk, merasa lelah dengan segala yang terjadi. Setiap kali aku merasa dunia ini terlalu berat, Ibu Jelita selalu ada, memberikan nasihat yang menenangkan dan doa yang tulus. Dia tidak pernah menganggapku sebagai orang asing, sebaliknya, dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.
Ibu Jelita sering kali memberikan nasihat yang bijak. "Nak, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Semua orang punya masa sulit, tapi yang penting adalah bagaimana kita bangkit setelah jatuh. Kamu bukanlah kegagalanmu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira."