Mohon tunggu...
Rahmad Romadlon
Rahmad Romadlon Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

Menulis Puisi, Artikel, Kata-kata Bijak, dan Motivasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Dua Hati yang Berjarak

16 Januari 2025   18:59 Diperbarui: 16 Januari 2025   18:59 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Pulang kampung selalu menjadi momen yang penuh dengan rasa campur aduk. Sebagian diriku ingin kembali ke rumah, merasakan kehangatan tempat di mana aku tumbuh besar, mendengar suara-suara yang dulu akrab, dan mencium aroma masakan yang mengingatkanku pada masa kecil. Tapi sebagian lainnya takut. Bukan takut pada rumah itu sendiri, melainkan pada apa yang selalu terjadi setiap kali aku melangkah masuk.

Saat aku turun dari bus di terminal kecil itu, udara desa yang segar menyapaku. Tapi hatiku masih berat. Aku menarik napas dalam-dalam, berharap itu bisa menenangkan gejolak yang terus bergulir di pikiranku. Jalan menuju rumah tidak jauh, hanya sekitar 15 menit berjalan kaki, tapi setiap langkah terasa seperti menapaki medan pertempuran.

Ketika sampai di depan pintu rumah, Ayah sudah menunggu seperti biasa. Dia berdiri di teras dengan tangan terlipat di dadanya, senyumnya lebar, tetapi sorot matanya penuh harapan yang tak pernah ku mengerti sepenuhnya. Aku tersenyum kecil dan mendekat, memeluknya.

"Kamu pulang juga akhirnya," katanya, suaranya terdengar lega. "Kamu pasti lapar. Masuklah, Ayah sudah siapkan makan malam."

Aku hanya mengangguk. Tapi setiap kali Ayah berkata seperti itu, aku tahu apa yang akan menyusul. Setelah makan malam, kami akan duduk di ruang tamu, dan Ayah mulai berbicara.

Kali ini pun tak berbeda. Setelah aku selesai makan, Ayah mulai bercerita, dan seperti yang kuduga, topik pembicaraannya adalah Kakakku.
"Dia itu lupa diri," kata Ayah, nada suaranya penuh kekecewaan. "Sejak menikah, dia tak pernah lagi memikirkan keluarga ini. Kamu tahu, dia bahkan jarang bertanya tentang aku. Kamu jangan terlalu dekat dengannya. Jangan sampai dia mempengaruhimu."

Aku hanya diam. Aku tidak ingin memperkeruh suasana, tapi setiap kata yang keluar dari mulut Ayah seperti duri yang menusuk hati. Aku tahu itu tidak benar. Kakakku bukan orang seperti itu. Dia punya kehidupannya sendiri, dan aku tahu dia sebenarnya peduli pada keluarga ini. Tapi aku juga tidak ingin membantah Ayah. Bagaimanapun, dia adalah orang yang membesarkanku.

Keesokan harinya, aku pergi ke rumah Kakakku. Rumahnya hanya beberapa meter dari rumah Ayah, tapi rasanya seperti menyeberangi jurang yang dalam. Aku mengetuk pintu perlahan, dan Kakakku membukanya dengan senyum lebar.
"Kamu datang," katanya. "Masuklah."

Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Suaminya ada di ruang tamu, sedang membaca koran. Aku merasa sungkan, seperti tamu yang tidak diundang. Kakakku memintaku duduk, tapi aku hanya berdiri di ambang pintu dapur. Aku melihat piring-piring yang masih berisi sisa makanan di meja makan. Aku ingin makan, tapi aku terlalu malu untuk meminta.

"Kamu sudah makan?" tanya Kakakku tiba-tiba, seolah membaca pikiranku.

Aku menggeleng pelan. "Belum, Kak. Tapi nggak apa-apa, nanti aku makan di rumah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun