Mohon tunggu...
Rahmad Daulay
Rahmad Daulay Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Alumnus Teknik Mesin ITS Surabaya. Blog : www.selamatkanreformasiindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menguji Efektivitas Remunerasi PNS

5 Februari 2014   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391607844123260001

[caption id="attachment_320679" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Remunerasi adalah salah satu produk reformasi birokrasi dalam mewujudkan clean government. Kondisi birokrasi yang buruk terutama kinerja pelayanan publik, perilaku KKN, disiplin dan penerapan/penguasaan peraturan yang lemah dipandang sebagai akibat dari rendahnya penghasilan dan kesejahteraan PNS. Maka lahirlah konsep remunerasi sebagai solusi utama di mana dengan meningkatnya penghasilan maka pikiran PNS tak perlu lagi memikirkan tentang biaya hidupnya dan bisa berkonsentrasi menjalankan tugas-tugas birokrasi sesuai tempat tugasnya. Dengan adanya remunerasi membawa konsekuensi dihapuskannya penghasilan tambahan lain di luar gaji seperti honorarium dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

Sampai saat ini pada APBN 2014 diperkirakan total kementrian/lembaga yang akan menikmati remunerasi berjumlah 76 kementrian/lembaga dengan remunerasi 100 % dan dperkirakan menyedot anggaran sekitar 45 trilyun. Kementrian/lembaga yang lain dan seluruh pemerintah daerah masih harus bersabar entah sampai kapan mengharungi suasana diskriminatif ini.

Sejak mencuatnya kasus bang GT di direktorat jenderal pajak maka suara kritik terhadap efektifitas remunerasi mulai naik ke permukaan. Dengan gaji total kira-kira 12 juta perbulan atau rata-rata 400 ribu perhari ternyata bang GT masih bermain-main dengan tugasnya. Walaupun kalau dipikir-pikir apalah artinya 12 juta bila dibandingkan dengan godaan hibah puluhan milyar.

Beberapa alasan munculnya kritik terhadap efektifitas remunerasi adalah remunerasi tidak efektif merubah sifat dan gaya materialistis birokrasi, remunerasi belum terbukti meningkatkan kinerja birokrasi, remunerasi menyedot anggaran negara dalam jumlah besar, remunerasi tidak serentak dan diskriminatif dan lain sebagainya.

Selain remunerasi, beberapa jabatan penting seperti SKK Migas memiliki gaji lebih tinggi dari presiden, beberapa atau mungkin semua dirut BUMN juga memiliki gaji lebih tinggi dari menteri BUMN. Semua itu memiliki tujuan yang kurang lebih sama dengan remunerasi yaitu menuju birokrasi yang lebih baik.

Namun setelah sekian tahun maka sistem penggajian berlebihan ini sudah saatnya dievaluasi secara jernih keefektifannya. Harus diukur dengan parameter yang jelas dalam menilai sudah sejauh mana efektifitas remunerasi dan faktor-faktor apa yang harus ditambahi dalam menunjang keberhasilan remunerasi. Atau jangan-jangan obat utama penyakit birokrasi bukan remunerasi ?

Saya sendiri berpikir demikian. Remunerasi bertujuan baik namun remunerasi bukan prioritas pertama dan takkan bisa berdiri sendiri.

Saya melihat bahwa yang harus dibereskan pertama kali adalah kesesuaian antara bakat dan minat SDM birokrasi dengan penugasannya. Minat dan bakat ini bisa dilihat dari latar belakang pendidikan dan latar belakang pengalaman serta keharusan untuk uji psikotest minimal setiap awal tahun. Apa yang terjadi bila sarjana ekonomi ngurusin pertanian atau sebaliknya sarjana sosial politik ngurusin keuangan ? Yang lebih parah adalah sarjana politik menjadi pimpinan di instansi pekerjaan umum. Apa jadinya bila SDM dengan bakat konseptor ditugaskan pada tugas penerapan ? Atau dengan bakat perencanaan ditugaskan melakukan post audit ? Di sini pentingnya the right man on the right job serta pentingnya the man behind the gun. Dan yang lebih penting lagi adalah harus disusun pola psikotest untuk menseleksi kadar kecenderungan KKN terutama korupsi. Pola psikotest khusus ini diharapkan bisa mendeteksi sejak awal bakat korupsi yang dimiliki seseorang dan bila perlu bisa mendeteksi ke tingkat gen dan yang memiliki gen korupsi bisa dikumpulkan di satu instansi untuk diberi treatment khusus. Instansi bergelimang uang jangan sampai ditempati SDM bergen korupsi ini.

Yang kedua adalah penyesuaian kebutuhan instansi dengan keterampilan SDM yang dibutuhkan. Apa jadinya bila instansi yang mengurusi keuangan ternyata SDMnya hanya sedikit yang menguasai dan berlatang belakang sarjana akuntansi ? Atau instansi LPSE (layanan pengadaan secara elektronik) atau dengan istilah lain tender online ternyata SDMnya tidak faham sistem komputer ? Oleh karena itu reposisi SDM dan instansi menjadi sangat penting untuk dibenahi.

Yang ketiga adalah pola promosi jabatan. Bayangkan bila seorang berkinerja buruk, berkompetensi rendah, berdisiplin rendah ternyata terpilih untuk menduduki jabatan membawahi para staf berkinerja tinggi, berkompetensi tinggi dan berdisiplin tinggi. Suasana seperti ini sangat merusak kinerja birokrasi. Ini juga penting untuk dibenahi.

Yang keempat adalah reward and punishment. Disini remunerasi menempati posisi strategis. Remunerasi harus menjadi pola reward dan harus bersanding dengan metode punishment di mana instansi yang direncanakan akan mendapat remunerasi harus dibersihkan dulu dari SDM terkena punishment dengan kata lain semua SDM dalam instansi yang akan mendapat remunerasi sudah bebas dari SDM yang di bawah standar dalam banyak parameter dan instansi tersebut hanya dihuni SDM berkualitas lebih dan layak mendapat remunerasi.

Yang kelima adalah minimalisasi pengeluaran terbesar. Salah satu pengeluaran terbesar PNS adalah biaya sekolah dan biaya kuliah anak-anak. Bayangkan seorang PNS rendahan di daerah harus menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi merantu ke kota apalagi ke kota besar, berapa biaya perbulan yang harus disediakan. Apalagi biaya besar ini ternyata didominasi oleh biaya hidup bukan biaya pendidikannya. Oleh karena itu perlu dibuat program asuransi pendidikan anak dengan pola mirip Askes (asuransi kesehatan) potong gaji perbulan dengan persentase tertentu yang tidak memberatkan dengan jumlah PNS sekitar hampir 5 juta orang tentu akan bisa saling subsidi silang mengingat tidak semua punya anak yang harus disekolahkan dan dikuliahkan bisa mensubsidi yang lain yang butuh biaya sekolah dan biaya kuliah anak-anaknya. Bila perlu Korpri bisa membentuk unit usaha perguruan tinggi khusus untuk anak-anak PNS di tiap propinsi atau setiap 4 kabupaten/kota mendirikan 1 perguruan tinggi milik Korpri.

Masih banyak lagi aspek yang harus dikaji ulang namun lima hal di atas rasanya sudah akan mewakili dan sudah bisa meningkatkan dan memiliki daya dukung tinggi terhadap pencapaian tujuan remunerasi.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun