Pendataan Objek Pajak sampai dengan sekarang ini masih semrawut. Data tanah dan bangunan di Badan Pertanahan Nasional belum tentu sama dengan data di Badan Pendapatan Daerah. Semua instansi pemerintah mengelola data sendiri-sendiri. Akibatnya terjadi ketidakefisienan dan beban biaya tinggi atas proses administrasi. Oleh karena itu kementerian Komunikasi dan Digital harus mulai melakukan penyisiran dan penataan seluruh aplikasi yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta BUMN di mana setiap jenis data yang sama harus mulai diintegrasikan dan ditetapkan siapa pemilik data induk. Konsep Satu Data Indonesia menjadi sebuah big data akan sangat mengefektifkan banyak hal. Aplikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang dikelola oleh KPK adalah salah satu aplikasi yang paling terkenal namun justru belum memakai sistem integrasi data sehingga Pejabat Negara bisa saja mengisi data yang tidak benar padahal apabila sistem integrasi data dilaksanakan maka banyak data kekayaan yang diperoleh melalui proses impor data seperti dari Badan Pertanahan Nasional (tanah dan bangunan), Samsat (kenderaan) dan tabungan/deposito pada perbankan. Oleh karena itu penataan dan pendataan Objek Pajak harus dimulai dari integrasi data dan aplikasi seluruh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan BUMN. Â Â Â
Data Wajib Pajak terkumpul pada data kependudukan pada Dinas Kependudukan Pemerintah Daerah. Data yang hampir sama dikelola oleh banyak instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan BUMN. Semua data yang hampir sama ini juga harus dilakukan proses integrasi data dan aplikasi menuju Satu Data Nasional. Nomor Induk Kependudukan bisa menjadi dasar dari seluruh data dan aplikasi.
Nilai Pajak akan berhubungan dengan proses kerja penagihan dan pembayaran. Bagaimana kita selama ini menagih Pajak dan Retribusi ? Apakah semua data Objek Pajak sudah dilakukan penagihan kepada Wajib Pajak ? Bagaimana cara penagihannya ? Berapa persen dari Wajib Pajak dan Objek Pajak yang dilakukan penagihan ? Dan berapa persen yang membayar tagihan ?
Kita bisa memulai dari pendataan Objek Pajak tanah, bangunan dan badan usaha. Integrasi data tanah, bangunan dan badan usaha ini memiliki satu keperluan yang sama yaitu listrik. Rekonsiliasi data tagihan listrik dan surat kepemilikan tanah dan bangunan merupakan langkah awal yang baik untuk langkah selanjutnya dalam hal integrasi data dan aplikasi. Nomor unik identitas pelanggan listrik disinkronkan dengan nomor surat kepemilikan tanah dan bangunan dan badan usaha melalui nomor induk kependudukan. Dari irisan data tersebut kita bisa melakukan optimalisasi data tanah, bangunan dan badan usaha. Seluruh Objek Pajak hasil rekonsiliasi ini dilakukan penagihan secara online melalui bantuan dari Operator Seluler dan media sosial. Hampir 90 % penduduk dan wilayah sudah terjangkau oleh jaringan internet dan semua golongan umur sudah memakai ponsel berbasis android yang memiliki fasilitas internet. Sehingga proses tagihan melalui cara konvensional sudah bisa kita tinggalkan dan ini merupakan penghematan besar-besaran karena tidak lagi memerlukan dokumen kertas tagihan dan tidak perlu lagi menggaji karyawan penagihan. Demikian juga metode pembayaran sudah seharusnya bisa dilakukan melalui pembayaran digital. Banyak metode pembayaran digital mulai dari mobile banking maupun mata uang digital. Dalam hitungan menit semua tagihan sudah bisa dibayar apabila ada niatan baik untuk membayar tagihan apapun.
Niatan baik dan kesadaran untuk membayar tagihan Pajak dan Retribusi adalah kendala sosial. Bukan dikarenakan ketidakmampuan membayar semata. Kendala sosial ini bisa diatasi dengan sanksi administrasi maupun sanksi sosial bila perlu dilakukan sanksi finansial. Contohnya pada tagihan listrik, setiap keterlambatan pembayaran tagihan listrik di atas tanggal 20 setiap bulannya dikenakan sanksi denda keterlambataan. Dan apabila tidak membayar selama 3 bulan maka akan dikenakan sanksi pencabutan layanan listrik. Apabila menggunakan meteran listrik prabayar maka apabila saldo pulsa listrik habis maka listrik akan mati dengan sendirinya.
Metode manajemen penagihan, pembayaran dan pengenaan saksi pembayaran tagihan listrik ini bisa diterapkan kepada penagihan, pembayaran dan pengenaan sanksi pembayaran tagihan Pajak dan Retribusi. Penagihan bisa dilakukan melalui aplikasi digital dan media sosial berdasarkan data base Objek Pajak dan Nilai Pajak yang ditetapkan setiap awal tahun. Penagihan secara digital bisa diatur secara berkala apakah akan dilakukan setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan. Pembayaran Pajak dan Retribusi bisa dilakukan melalui perbankan ataupun melalui mata uang digital. Terhadap pengenaan sanksi perlu dipikirkan apabila tagihan Pajak dan Retribusi pada akhir tahun yaitu pada bulan Desember setiap tahun belum dilakukan pembayaran tagihan Pajak dan Retribusi maka perlu dilakukan pengkajian secara matang untuk diberlakukannya SANKSI AUTODEBET terhadap tabungan ataupun deposito yang dimiliki oleh Wajib Pajak (orang perorang atau badan usaha) pada perbankan nasional atau swasta. Sanksi Autodebet ini memerlukan regulasi dari Pengadilan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan serta Kementerian Keuangan. Apabila sanksi autodebet ternyata Wajib Pajak merasa keberatan maka bisa melakukan komplain secara tertulis yang disampaikan secara online. Apabila komplain tidak diterima maka selanjutnya bisa dilimpahkan ke PTUN.
Kata kunci dari optimalisasi Pajak Negara adalah : digitalisasi, integrasi data dan sanksi autodebet. Bila ketiga kata kunci ini bisa diterapkan secara bertahap dengan memiliki percepatan yang terukur maka jangankan proyek makan siang gratis, bahkan hutang luar negeri yang sudah mencapai USS 427,8 milyar atau setara dengan Rp6.774,3 trilyun bisa kita lunasi dalam jangka waktu tidak sampai 10 tahun.
Semoga. Â Â
Salam Reformasi.
Kaki Bukit Barisan.
Rahmad Daulay