Mohon tunggu...
Rahmad Dwi Prasetya
Rahmad Dwi Prasetya Mohon Tunggu... Lainnya - Saat ini menjalankan profesi sebagai abdi rakyat

Menurut hemat saya, pribadi dalam diri saya merupakan orang yang suka berdiam diri dalam keramaian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa: Negeri Kecil Penuh Inspirasi di Tengah Pusaran Badai

8 Oktober 2023   07:00 Diperbarui: 16 Februari 2024   21:50 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada sebuah Adagium lawas "Desa mawa cara Negara mawa tata" yang mungkin hari ini semakin tidak dijadikan haluan bagi setiap upaya dan usaha dalam menumbuhkan dan membangun kembali Desa secara esensial. Desa adalah romantisme akan sebuah kehidupan yang ideal. Lebih dari sekedar itu sebetulnya, desa adalah sebuah bahan referensi. Referensi dari bagaimana kehidupan masih berlangsung secara sederhana. Masih seimbang ekologinya, masih rendah senjang ekonominya, masih lebih seimbang segala sesuatunya. 

Ideologi 'Pembangunanisme' gencar dilakukan baik program dari Negara Pusat atau inisiatif Pemerintah "Desa. Pembangunan yang dicanangkan sejak Orde Baru hingga sekarang ini tak selamanya berdampak baik bagi rakyatnya. Kita bisa saksikan dan rasakan proses pembangunan justru menyebabkan konflik yang tak berujung. Penyingkiran ruang hidup rakyat terjadi di banyak tempat di Indonesia.

 Manakala industri selera menerjang masuk ke desa, maka orang bisa membeli motor bukan untuk menunjang mobilitasnya, melainkan buat dipajang di ruang tamu. Masyarakat kemudian cenderung mengonsumsi nilai tanda agar ia merasa lebih dihormati karena dekorasi atau atribut yang dipamerkan, dipajangkan, serta dikenakan.

Dalam sebuah fakta sosial sampai hari ini, arah pembangunan desa masih terdominasi untuk diarahkan menjadi desa konsumtif bukan desa produktif yang menitikberatkan pada usaha untuk semakin mempertingkatkan secara tajam produktivitas keberdayaan masyarakat desa khususnya pengolahan dan pengelolaan sumber daya.

Membicarakan persoalan perubahan-perubahan kultur desa dengan berbagai dinamikanya, yakni tergerusnya budaya desa yang disebut tradisional dirambah oleh modernisasi. Memang selama ini antara tradisional dan modern dianggap sebuah tahapan atau tangga untuk naik tingkat. Tradisional itu posisinya di belakang atau di bawah — modern posisinya sudah di depan atau di atas, kaum tradisional harus lari mengejarnya atau naik tangga untuk mencapai modernitas. Maka tradisi dipaksa untuk kawin dengan modernisasi — tentu saja mempertemukan tradisi dengan modernisasi itu sama halnya suatu upaya menuju perkawinan yang tidak akan menemukan kebahagiaan, karena tradisi dan modernisasi dari asal-muasal, cara pandang dan ideologi yang sangat berbeda, bahkan cenderung saling bertentangan. Maka tidak disadari, dalam pertaliannya, penganut tradisionalisme dan modernisme perlahan-lahan menabur benih-benih konflik yang kita rasakan getaran ledakannya disepanjang jalan peradaban manusia.

Modernisasi diyakini merupakan pilihan arah yang dapat membangkitkan keyakinan menuju perubahan. Dalam riwayatnya, teori modernisasi juga mempengaruhi interdisiplin ilmu pengetahuan. Pikiran tentang modernisasi dapat ditemukan dalam karya ilmiah di bidang psikologi Prof. David McClelland tentang The Achieving Society (1961). McClelland menafsirkan Max Weber: bahwa jika etika Protestan menjadi pendorong pertumbuhan di Barat, analogi yang sama juga dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi. Rahasia pikiran Weber tentang etika Protestan terletak pada the need for achievement. Maka kaum intelektual ini memandang masyarakat di Timur pada umumnya adalah masyarakat terbelakang, dengan label Rakyat Dunia Ketiga yang hukumnya wajib memandang ke Barat, dan harus didorong need for achievement-nya. Dalam kajian yang sama profesor emiritus dalam Ilmu Sosial dari Standford University, AS, Alex Inkeles mengembangkan instrumen untuk mengukur skala modernitas dengan cara menentukan tingkat kemodern-an suatu masyarakat, piranti tersebut sangat penting digunakan untuk melakukan perubahan sikap di masyarakat. Karena tradisionalisme dianggap sebagai momok, penyakit yang harus disingkirkan — diberantas. Upaya penyingkiran penyakit tradisionalisme untuk mendorong lahirnya sikap moderen yang akan membawa pertumbuhan ekonomi, yakni jalan menuju masyarakat high mass consumption — model masyarakat yang diimpikan ekonom termashur pencetus konsep pembangunan ekonomi WW Rostow melalui teori pertumbuhan sosialnya.

Pembangunan (development) dengan mengendarai modernisasi merupakan pengembangan gagasan dalam rangka membendung semangat anti kapitalisme bagi berjuta-juta masyarakat yang diberi nama “Dunia Ketiga”. Pada tanggal 20 Januari 1949 Harry S. Truman (Presiden Amerika Serikat) mengumumkan kebijakan pemerintahnya bahwa konsep “pembangunan” resmi menjadi bahasa dan doktrin luar negeri pemerintahnya. Kebijaka tersebut juga merupakan jawaban atas kecenderungan, ketertarikan masyarakat Dunia Ketiga terhadap Uni Soviet. Sangat jelas bahwa gagasan awal “pembangunan” dalam rangka “perang dingin” demi membangun sosialisme di masyarakat Dunia Ketiga. Maka doktrin “pembangunan” gencar disebarluaskan oleh para ilmuwan sosial. Pada tahun 1961 melalui konverensi The Implementation of Title IX of Foreign Assistance Act, dan akhirnya pada tahun 1966 konsep “pembangunan” dan modernisasi disepakati menjadi pilar utama kebijaksanaan program politik luar negeri Amerika.

Pemberlakuan juga Pasal 72 ayat (2) Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu rasionalisasi dan sampai pengurangan dana desa bagi yang mengalami kemandekan Pembangunan. Penulis mencoba urun wacana dengan memperhatikan kembali kejayaan di masa lampau yang menandaskan bahwa desa merupakan sesuatu yang paling tua daripada negara. Pertama, Mengembalikan usaha konsolidasi Spiritual, Wilayah dan Politik setiap 36 hari sekali oleh Negara Besar dan Pemerintah Desa. Kedua, Desentralisasi Pengelolaan wilayah secara penuh kepada Pemerintah Desa untuk menumbuhkan potensi menciptakan kembali Desa secara Swadaya (Desa Purwa). Ketiga, Pembagian secara dialektis sinergetik antara kas Rakyat Desa dengan kas Pemerintah Desa agar tidak terjadi tumpang tindih program dan pembentukan elite di desa.Uraian singkat di atas upaya untuk menggambarkan, bahwa berbagai hal yang terjadi bukanlah sesuatu yang lahir secara alamiah namun banjir yang melibas peradaban jagad pedesaan memang secara sadar telah dirancang dan direkayasa oleh para aparatus pembangunan-modernisasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun