Mohon tunggu...
Rahmad Cherry
Rahmad Cherry Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional, UIN Jakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan yang kuat dalam hal international affairs, seperti geopolitik, pertahanan, keamanan, hukum internasional, ekonomi internasional, dsb.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Diplomasi Indonesia dalam Merespon Ancaman Konflik di Laut China Selatan

31 Mei 2024   13:03 Diperbarui: 31 Mei 2024   13:06 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Sejak Deklarasi Juanda 1957, Indonesia mulai secara formal meresmikan laut sebagai bagian penting dari wilayah Indonesia, hal ini membuat wilayah perairan menjadi penting bagi Indonesia sebagai satu kesatuan 'tanah air' (Kipgen 2021). Pentingnya wilayah laut bagi Indonesia tentunya membuat Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan yang Indonesia miliki, salah satunya sengketa Laut China Selatan di utara Indonesia. Walaupun Indonesia bukan sebagai negara claimant---seperti Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina---sengketa ini tetap menjadi penting bagi Indonesia untuk merespon secara tepat. Hal ini karena China telah melakukan klaim pada Zona Ekslusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di perairan Kepulauan Natuna yang China anggap sebagai perairan nelayan tradisional China, sehingga perairan Kepulauan Natuna termasuk dalam nine-dash line (Majumdar 2021). Namun di sisi lain, China dan Indonesia keduanya juga telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang secara hukum laut klaim historis China tidak lah tercantum di UNCLOS. Hal ini membuat Indonesia tidak mengakui klaim China karena Indonesia hanya mengakui klaim wilayah laut berdasarkan UNCLOS (Leginosuko, et al. 2021).

ANCAMAN KONFLIK DI LAUT CHINA SELATAN

Perilaku China di perairan Kepulauan Natuna dengan hadirnya para nelayan dan kapal penjaga pantai (Cost Guard) semakin meningkat. Seperti yang terjadi pada 8 September 2022, dimana Cost Guard kembali kedapatan masuk ke perairan Natuna, tidak hanya melintas namun juga melakukan intimidasi kepada nelayan lokal yang sedang melaut di perairan tersebut (Wibowo 2022). China menegaskan klaimnya pada wilayah Laut China Selatan---termasuk utara Natuna di dalamnya---sebagai bagian wilayah historisnya, hal ini tentunya membuat adanya pertentangan tafsiran hak wilayah antara Indonesia yang menyandarkan pada UNCLOS, sedangkan China berdasarkan klaim historis. Bahkan hingga saat ini, permasalahan Laut China Selatan masihlah menjadi perselisihan yang tidak menemukan titik temu solusi, walaupun terlihat relatif damai, namun tren satu dekade terakhir, memberikan ketegangan yang muncul antar pihak yang berselisih semakin meningkat dibandingkan dekade sebelumnya (Dipua, Prakoso dan Nurdiansyah 2021).

Faktanya, kawasan Laut Natuna Utara saat ini menjadi lebih terancam oleh hadirnya kapal-kapal China, terutama semenjak China mengesahkan undang-undang nasionalnya yang mengizinkan penggunaan senjata militer oleh Angkatan lautnya untuk mengantisipasi kedatangan kapal asing yang dianggap memasuki 'wilayah mereka' (Lou 2021). Bahkan pada 2021 lalu, menurut Angkatan Laut Indonesia, terdapat kapal perang China yang diduga Fregat tipe 054A Jiangkai II, dimana kapal jenis ini dari aspek persenjataan memiliki kemampuan dan daya tempur yang jauh di atas kapal-kapal kombatan TNI AL (Manurung dan Rezasyah 2021). Hal ini jelas memberikan gambaran bagaimana agresivitas dan ekspansi China di wilayah Laut China Selatan, terutama di Kepulauan Natuna tidak dapat dianggap sebagai hal yang biasa, kehadiran kekuatan militer China semakin nyata di tengah tumpang tindihnya klaim di kawasan Laut China Selatan.

Selain itu, jika kita melihat China di sistem internasional secara power, China dapat dikatakan sebagai negara superpower, hal ini dapat dilihat dari pengeluaran militer, China merupakan negara dengan pengeluaran militer terbesar kedua di dunia pada tahun 2023, yaitu sebesar 296 juta Dolar Amerika (Nantian, et al. 2024). Sedangkan, secara kekuatan maritim, menurut laporan dari Global Firepower 2024, China merupakan salah satu yang terkuat, dengan total kapal perang sebanyak 714 (Global Firepower 2024).

Sehingga dari sini, tentu perlu disadari bahwa Indonesia haruslah bijak dalam merespon China di Laut China Selatan, dengan mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah secara kekuatan, serta fakta bahwa Indonesia masih di bawah China secara kekuatan militer. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang lebih efektif bagi Indonesia dalam merespon China, strategi yang lebih diplomatis dan tidak secara ofensif, mengingat Indonesia juga bukanlah negara claimant dalam kasus ini.

DIPLOMASI PERTAHANAN

Menurut Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Karunia, bahwa kekuatan armada Indonesia di Natuna sangat minim dengan hanya membawa 4 kapal yang beroperasi di zona Laut Natuna Utara yang berpangkalan di Pulau Batam. Sehingga dalam hal ini Indonesia harus sedikit lebih tegas akan kehadirannya di Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, dengan meningkatkan penguatan pangkalan militer di wilayah tersebut dengan harapan dapat memberikan persepsi positif dalam membangun kekuatan pertahanan (Indonesia Defense Ministry 2015).

Setidaknya ada beberapa hal yang harus ditingkatkan oleh Indonesia di kawasan Kepulauan dan Perairan Natuna. Pertama, dengan meningkatkan kehadiran TNI AL di wilayah tersebut, dengan memperbanyak fregat atau kapal perang di bawah Koarmada I yang merupakan salah satu Komando Utama TNI AL dan membawahi wilayah Laut Indonesia di bagian barat. Kedua, Indonesia juga harus meningkatkan TNI AU di Pangkalan Udara Raden Sajad Ranai di Pulau Natuna, dengan tugas utama untuk memberikan dukungan operasional bagi satuan yang lain, serta dengan memperluas pangkalan untuk memungkinkan pesawat tempur dan menambah skuadron udara. Ketiga, dengan menghadirkan TNI AD di Pulau Natuna yang bertugas untuk meningkatkan kekuatan serta kapasitas untuk melakukan pembinaan wilayah serta pertahanan wilayah darat.

Strategi ini dapat dikatakan sebagai bentuk deterrence strategy, yaitu strategi yang bertujuan untuk mencegah tindakan agresif atau permusuhan oleh pihak lain melalui ancaman akan konsekuensi yang serius (Mastro 2022). Dengan kuantitas dan kualitas militer di Kepulauan Natuna, diharapkan China sebagai aggressor memahami kekuatan dan risiko yang akan ditanggung jika harus mengambil tindakan penyerangan. Sehingga, peningkatan kekuatan dan kapasitas militer Indonesia di wilayah Natuna merupakan langkah paling awal yang dapat Indonesia lakukan untuk merespon China di Laut China Selatan, setidaknya ini dapat menjaga para nelayan Natuna dari ancaman kapal-kapal perang China di wilayah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun