Ironis memang bila kita harus mendengar maupun melihat pekerja anak (PA) yang berada di jalanan, apalagi bila terdapat kasus-kasus pekerja anak yang mengalami tindak kekerasan, pelecehan seksual, maupun mereka yang dieksploitasi bekerja lebih dari 4 jam sehari karena memang kerasnya dunia kerja terutama untuk anak-anak yang dibawah umur. Seperti dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 138 yang membahas mengenai batas usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja yang berlaku di wilayah RI adalah usia 15 tahun.
Setiap anak yang memutuskan untuk bekerja pasti memiliki alasannya masing-masing, ada yang bekerja untuk sekedar menambah uang saku atau pun biaya sekolah hingga mereka yang benar-benar bekerja untuk membiayai kehidupannya sendiri yang kesemuanya bermuara pada upaya-upaya untuk membantu meringankan beban orangtuanya. Biaya hidup sekarang ini pun kian melambung saja apalagi untuk mereka yang berasal dari golongan bawah yang membuatnya tak punya banyak pilihan, apalagi pekerjaan orangtua PA yang rata-rata hanya sebagai buruh serabutan dirasa semakin mendukung anak mereka untuk ikut bekerja. Karena gaji seorang buruh serabutan yang memang tak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari yang kian membengkak saja. Riwayat pendidikan rata-rata dari orangtua PA ini pun hanya sebatas pada tingkat SD yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan lain yang penghasilannya lebih besar. Hingga pemikiran orangtua ini akhirnya sampai pada tahap untuk merelakan anaknya bekerja, padahal hati orangtua mana yang tega melepaskan anaknya untuk terjun ke dunia bekerja yang sangat keras. Dalam hati kecil setiap orangtua pastilah menginginkan kebahagiaan sang anak. Mereka ingin dapat membesarkan anaknya seperti orangtua lain yang serba berkecukupan sehingga mampu memenuhi setiap permintaan sang anak. Sedang orangtua PA ini, untuk sesuap nasi saja mereka harus memeras keringat, bekerja lontang-lantung kesana kemari, apalagi untuk membiayai pendidikan anak mereka yang tiap tahunnya meningkat. Sungguh beban tersendiri untuk orangtua PA ini, hingga sebagian besar dari PA pun memutuskan untuk putus sekolah karena tak ingin menambah beban orangtuanya. Bahkan yang lebih parah lagi apabila orangtua PA sama sekali tak memiliki kemampuan ekonomi, sehingga PA pun tak sempat mengenyam bangku pendidikan. Anak-anak ini pun harus menelan pil pahit kala mereka melihat teman-teman sebayanya yang bebas bermain dan dapat mengenyam pendidikan tanpa perlu memikirkan biaya untuk sekolah, hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan kondisi PA.
Dalam mengatasi masalah PA ini, Pemerintah diharapkan tak hanya sekedar menuangkannya pada sejumlah undang-undang yang sudah ditetapkan belaka, tetapi juga harus disertai dengan tindakan nyata oleh pemerintah. Karena bila masalah pekerja anak ini tidak ditangani dengan serius, bisa jadi hal yang tidak diinginkan seperti jumlah PA yang kian hari kian meningkat dapat terjadi. Hal ini nantinya akan berdampak buruk pada masa depan bangsa Indonesia dimana PA ini notabene-nya adalah generasi penerus bangsa yang merupakan tonggak perubahan Indonesia. Lalu akan seperti apakah Indonesia kelak bila sebagian besar anaknya tak memperoleh pendidikan yang layak? Akankah cita-cita bangsa dapat tercapai?
Bila masalah PA ini dibiarkan begitu saja bisa jadi bukan suatu kemajuan yang terjadi, tetapi suatu kemunduran yang tidak diharapkan oleh bangsa ini yang akan terjadi. Padahal dalam Undang-Undang Dasar pun telah dijamin tentang kesejahteraan tiap individunya (Pasal 28 C), dan setiap fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara (Pasal 34).
Namun, realisasi dari undang-undang ini sepertinya belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Pemerintah juga harus segera memperhatikan pendidikan PA ini, karena dalam undang-undang RI No. 23 tahun 2002 pasal 9 dijelaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2009 tentang perlindungan anak, juga tertera bahwa Negara atau pemerintah berkewajiban melindungi, memelihara dan menyejahterakan anak. Oleh karena itu, biaya pendidikan untuk anak yang berasal dari golongan bawah perlu di subsidi 100%, mulai dari buku hingga seragam sekolah pemerintah perlu memperhatikannya. Selain itu pemerintah juga dapat bekerjasama dengan LSM-LSM untuk mendirikan sekolah-sekolah darurat. Bila langkah-langkah tersebut dilakukan niscaya kesempatan PA untuk memperbaiki perekonomian keluarganya pun semakin besar. Sumber Daya Manusia (SDM) pun akan semakin berkualitas, sehingga pemerintah ikut berperan serta dalam memperbaiki generasi penerus bangsa Indonesia dan diharapkan cita-cita bangsa ini dapat terwujud dengan sempurna. Selain itu, melalui pelatihan-pelatihan kerja yang digratiskan, akan ada banyak orang dewasa yang ikut terlibat. Sehingga orangtua PA khususnya akan mendapatkan modal ketrampilan dalam bekerja kelak, selain itu dengan adanya kegiatan-kegiatan pelatihan kerja diharapkan pesertanya dapat mandiri dalam bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H