Mohon tunggu...
Rahmad Alkhadafi
Rahmad Alkhadafi Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tingginya Angka Pengangguran di Indonesia

24 Mei 2024   16:07 Diperbarui: 24 Mei 2024   16:18 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengangguran merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Tingginya tingkat pengangguran tidak hanya berdampak negatif pada perekonomian, tetapi juga pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan saling berkaitan, yang dapat dikategorikan menjadi dua kelompok utama: faktor internal dan eksternal. Tulisan ini akan membahas secara faktor-faktor tersebut serta memberikan gambaran mengenai solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.

Faktor Internal


Faktor internal pengangguran berkaitan dengan kondisi dan perilaku individu itu sendiri, yang mencakup berbagai aspek seperti keterampilan, motivasi, dan pengetahuan. Salah satu faktor utama yang menyebabkan pengangguran adalah kurangnya keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat ini, industri-industri di berbagai sektor terus mengalami perubahan yang cepat. Banyak pekerjaan yang dahulu tidak memerlukan keterampilan khusus kini memerlukan keahlian teknis yang spesifik. Misalnya, dengan kemajuan teknologi informasi, banyak perusahaan kini mencari pekerja yang memiliki keterampilan di bidang pemrograman, analisis data, dan manajemen sistem informasi.


Namun, banyak individu di Indonesia yang tidak memiliki kualifikasi atau keterampilan yang sesuai dengan perkembangan industri saat ini. Sistem pendidikan yang belum sepenuhnya mengikuti tren industri dan kurangnya akses terhadap program pelatihan keterampilan menjadi salah satu penyebab utama. Banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang hanya memiliki pengetahuan teoretis tanpa disertai kemampuan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Seringkali, para pencari kerja ini harus menghadapi kenyataan bahwa keterampilan yang mereka miliki tidak lagi relevan atau cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berkembang.


Selain kurangnya keterampilan, rendahnya motivasi untuk mencari pekerjaan juga menjadi kendala signifikan dalam mengatasi pengangguran. Beberapa individu mungkin merasa putus asa setelah mengalami penolakan berulang kali dari berbagai kesempatan kerja. Pengalaman ditolak secara terus-menerus dapat mengikis rasa percaya diri dan semangat untuk terus mencari pekerjaan. Dalam banyak kasus, pencari kerja yang mengalami penolakan berturut-turut mulai meragukan kemampuan mereka sendiri, yang akhirnya mempengaruhi usaha mereka dalam mencari pekerjaan baru. Mereka mungkin merasa bahwa usaha mereka sia-sia, sehingga mereka memilih untuk tidak lagi aktif mencari pekerjaan.


Kurangnya pengetahuan mengenai cara efektif mencari pekerjaan juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi motivasi individu. Banyak pencari kerja yang tidak tahu bagaimana cara membuat CV yang menarik, bagaimana mempersiapkan diri untuk wawancara, atau bagaimana menggunakan jaringan profesional untuk mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan. Di era digital ini, kemampuan untuk memanfaatkan platform online seperti LinkedIn, situs web perusahaan, dan portal lowongan kerja sangatlah penting. Namun, masih banyak pencari kerja yang tidak terbiasa atau tidak memiliki akses ke alat dan sumber daya ini, yang mengakibatkan mereka kehilangan banyak kesempatan.


Selain itu, kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar juga dapat mempengaruhi motivasi individu dalam mencari pekerjaan. Lingkungan yang tidak mendukung, seperti keluarga yang kurang memberikan dorongan atau komunitas yang tidak memiliki jaringan kerja yang kuat, bisa membuat individu merasa terisolasi dan kurang termotivasi. Dalam beberapa kasus, stigma sosial terhadap pengangguran juga dapat mempengaruhi mental dan motivasi individu, membuat mereka merasa malu atau takut untuk terus mencari pekerjaan.


Faktor Eksternal


Beberapa faktor yang turut berperan dalam meningkatkan angka pengangguran di Indonesia meliputi pandemi COVID-19, disrupsi teknologi, kebijakan pemerintah, dan perhatian terhadap sektor pendidikan. Berikut adalah uraian mengenai bagaimana faktor-faktor eksternal ini mempengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia.


1.Pandemi COVID-19


Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Sejak awal pandemi, banyak sektor usaha yang mengalami penurunan drastis dalam aktivitas ekonomi. Pembatasan sosial, penutupan tempat kerja, dan penurunan permintaan konsumen menyebabkan banyak perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawan atau bahkan menutup usahanya karena tidak mampu bertahan dalam kondisi ekonomi yang lesu. Di sektor pariwisata, perhotelan, dan ritel, banyak pekerja kehilangan pekerjaan karena penurunan drastis dalam jumlah wisatawan dan pengunjung. Sementara itu, sektor manufaktur dan jasa juga mengalami kesulitan karena gangguan dalam rantai pasokan dan menurunnya permintaan global.

Selain itu, pandemi juga mendorong percepatan adopsi teknologi digital di berbagai sektor, yang menciptakan disrupsi dalam pasar tenaga kerja. Banyak perusahaan yang beralih ke model bisnis daring dan mengadopsi teknologi baru untuk bertahan dalam kondisi yang tidak menentu. Perubahan ini menyebabkan banyak pekerjaan tradisional hilang dan digantikan oleh otomatisasi dan teknologi baru yang memerlukan keterampilan berbeda. Misalnya, di sektor ritel, banyak toko fisik yang tutup dan beralih ke platform e-commerce, mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja di toko fisik tetapi meningkatkan permintaan akan keterampilan digital dan logistik.


2.Disrupsi Teknologi


Perkembangan teknologi yang pesat juga berkontribusi terhadap pengangguran melalui disrupsi pasar tenaga kerja. Disrupsi teknologi mencakup perubahan besar dalam cara kerja dan operasi bisnis akibat adopsi teknologi baru seperti otomatisasi, kecerdasan buatan, dan Internet of Things (IoT). Sementara teknologi ini membawa banyak manfaat dalam hal efisiensi dan produktivitas, mereka juga menyebabkan hilangnya banyak pekerjaan yang bersifat rutin dan manual. Pekerja yang tidak memiliki keterampilan teknis atau kemampuan untuk bekerja dengan teknologi baru ini cenderung menghadapi risiko pengangguran yang lebih tinggi.

Misalnya, di sektor manufaktur, penggunaan robot dan mesin otomatis telah menggantikan banyak pekerjaan manusia. Di sektor jasa, perangkat lunak dan aplikasi otomatisasi mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja administrasi. Pekerja yang tidak memiliki keterampilan teknis atau kemampuan untuk bekerja dengan teknologi baru ini cenderung menghadapi risiko pengangguran yang lebih tinggi. Akibatnya, banyak pekerja yang sebelumnya mengisi posisi-posisi tersebut harus menghadapi kenyataan bahwa keterampilan mereka tidak lagi relevan, dan mereka perlu pelatihan ulang untuk dapat beradaptasi dengan kebutuhan industri yang baru.


3.Kebijakan dan Perhatian Pemerintah terhadap Pendidikan


Selain dampak langsung dari pandemi dan disrupsi teknologi, kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan juga memainkan peran penting dalam tingkat pengangguran. Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan relevansi pendidikan menyebabkan banyak lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan dunia kerja. Sistem pendidikan yang tidak mampu mengikuti perkembangan industri dan kebutuhan pasar kerja membuat para lulusan sulit bersaing dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Kurikulum yang tidak relevan dan metode pengajaran yang ketinggalan zaman mengakibatkan banyak siswa yang lulus tanpa keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh industri.

Selain itu, pendidikan yang tidak merata dan kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas di daerah-daerah terpencil memperparah masalah pengangguran. Di banyak wilayah di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil, akses terhadap pendidikan berkualitas masih sangat terbatas. Banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas memadai atau tenaga pengajar yang kompeten. Akibatnya, lulusan dari daerah-daerah ini seringkali tidak dapat bersaing dengan lulusan dari daerah perkotaan yang lebih maju. Kesenjangan ini menciptakan ketimpangan dalam kesempatan kerja dan memperburuk tingkat pengangguran.

Penutup

Tingginya angka pengangguran di Indonesia merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal yang saling berkaitan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya terpadu dari berbagai pihak, termasuk individu, pemerintah, dan sektor swasta. Peningkatan kualitas pendidikan, penyediaan pelatihan keterampilan yang relevan, serta penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat berharap untuk melihat penurunan yang signifikan dalam angka pengangguran dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun