Mohon tunggu...
rahmad nasir
rahmad nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Seorang aktivis mahasiswa Cipayung. Tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Ada Makanan yang Terbuang Sia-sia

12 Juni 2016   13:25 Diperbarui: 13 Juni 2016   12:04 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika manusia sedang melangsungkan kegiatan makan sebagai kebutuhan dasar manusia yang juga diteorikan oleh Abraham Maslow dalam teori kebutuhannya. Makanan yang dapat dicerna usus manusia serta seluruh sistem pencernaan manusia pada khususnya adalah berasal dari hewan dan tumbuhan serta umumnya berasal dari alam sekitar berupa lemak, mineral, vitamin, garam, protein, karbohidrat dan lain sebagainya telah menunjang kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini.

Sering kali dalam proses menyantap makanan, ada kekhilafan yang terjadi yakni jatuhnya sisa makanan ke tanah/lantai. Proses makanan baik menggunakan tangan kosong atau menggunakan senduk tetap saja berpeluang makanan akan jatuh di tanah/lantai. Hal ini mungkin pernah dialami oleh pembaca sekalian sekalipun telah berhat-hati.

Dalam beberapa adat budaya melarang menyantap makanan dengan tidak berhati-hati sehingga jatuh ke tanah dengan argumen bahwa makanan itu dicari dengan susah payah membanting tulang bahkan ada yang berujar jika makanan jatuh saat dimakan sebenarnya makanan tersebut sedang menangis tetapi manusia tidak mengetahuinya. 

Dalam satu sisi, bisa dibenarkan argumen ini meskipun masih samar-samar keilmiahannya secara rasional namun secara intuisi ada kemungkinan untuk pembenarannya. Selain itu, tindakan seperti ini dianggap pemborosan atau menyia-nyiakan sesuatu yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan manusia seperti doktrin teologi tentang pemboros adalah saudaranya syetan.

Secara kasat mata manusia memandang seperti yang telah diargumenkan di atas, namun dari sisi yang lain meskipun manusia menganggap makanan yang jatuh atau terbuang adalah sia-sia atau tak berguna lagi namun manusia tak menyadari bahwa makanan yang jatuh juga merupakan upaya pengkondisian keadilan terhadap makhluk hidup yang lain. 

Makhluk hidup yang dimaksud ini seperti kucing yang menyambar ikan yang sedang dimakan manusia, semut, binatang pengurai dan sejenisnya serta unggas yang biasa memakan biji-bijian makanan baik yang telah masak atau yang masih mentah. Jika demikian, maka sebenarnya terbuangnya makanan tidaklah sia-sia seperti yang ada dalam pandangan kasat mata tetapi manusia tidak harus ego mengakui dirinya satu-satunya makhluk yang berhak mendapatkan rezeki berupa makanan.

Kondisi ini mengingatkan saya pada hukum kekekalan energi yang menyatakan bahwa energi berpindah dari satu bentuk energi ke energi yang lain, tentu makanan adalah menyuplai energi bagi tubuh manusia sehingga jika manusia menyantapnya maka akan memberikan kekuatan bagi tubuh. 

Sama halnya dengan hewan yang saya sebutkan di atas juga memakan makanan sisa tersbut juga untuk menambah kekuatan dirinya dalam bertahan hidup. Energi memang tak hilang namun hanya berpindah dari makanan ke dalam tubuh manusia dan hewan dan bisa berwujud panas, gerak serta berbentuk kimia. Masih ingatkah pelajaran biologi tentang rantai makanan? Rantai makanan adalah proses perpindahan energi dari produsen ke konsumen.

Jika demikian maka kehadiran makanan di dunia tidaklah sia-sia hanya karena tidak dimanfaatkan manusia bahkan makanan sisa atau makanan yang telah busuk atau rusak dalam versi manusia sekali pun masih dianggap lezat dalam versi hewan-hewan tertentu. Kendati demikian, manusia harus membijaki antara ketersediaan pangan untuk kebutuhan hidupnya dalam nuansa era kekinian, apalagi jumlah makanan semakin menipis tak sebanding dengan angka pertumbuhan manusia di muka bumi ini seperti yang sering dikalkulasi oleh badan pangan dunia PBB. 

Manusia harus tahu bahwa dirinya bisa memerankan prinsip simbiosis mutualisme, komensalisme dan parasitisme pada kondisi-kondisi yang dianggap tepat untuk diperankan dalam hubungannya dengan hewan-hewan yang saya sebutkan di atas. Bahkan dalam nuansa teologi, ini dianggap sebagai sedekah untuk sesama makhluk ciptaan Tuhan. Bukankah setiap makhluk punya takdir rezekinya masing-masing?

Jogja, 4 Ramadhan 1437 H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun