Lelaki itu...
Lihatlah sorot matanya, lelaki itu menatap nanar ke arah benda pusaka bernama “Moko”. Bahasa ilmiahnya adalah Nekara yang biasanya berbahan dasar perunggu, besi, tembaga dan emas. Mengapa tidak nanar? Ia harus memiliki benda yang terbilang mahal ini untuk mempersunting gadis idamannya di Negeri Nusa Kenari. Semakin hitam semakin mahal, semakin lama usianya pun semakin lama. Usia benda ini berabad-abad lamanya, sebagian orang Alor percaya bahwa benda ini tumbuh dari dalam tanah sebagian lain yakin kalau ini dibawa bangsa Cina beratus-ratus tahun lamanya ketika berdagang ke Alor.
Lelaki itu...
Setelah melalangbuana keliling Nusantara mencari tulang rusuk kirinya yang sementara disembunyikan sang Ilahi, lelaki muda ini akhirnya mulai berfikir untuk mempersunting gadis yang ada di kampung halamannya. Entahlah, apa yang menjadi alasan atau argumentasinya? Bukankah biasanya kita mendengar adagium “rumput tetangga lebih hijau”?. Dari tatapannya penuh harap untuk memiliki benda ini menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan cintanya. Meskipun kondisi keuangannya belum menentu, namun tekatnya yang bulat akan menyelesaikan sebisa mungkin persyaratan agama maupun dari sisi adat masyarakat Nusa Kenari.
“Belis” dalam bahasa agama yang biasanya cukup bahkan sangat mahal serta “mahar” dalam bahasa agama yang biasanya simpel dan mudah. Untuk melestarikan budaya lelaki itu dituntut untuk membayar belis untuk gadisnya, sementara sebagai manusia beragama ia harus menyiapkan mahar pernikahan. Lelaki itu ingin menunjukkan dirinya sebagai manusia berbudaya yang taat asas adat dan sebagai manusia beriman yang beragama. Konsekuensi sebagai lelaki untuk menjaga harga diri keluarga menjadi penting dalam pandangannya.
Lelaki itu...
Pantang mundur jika telah maju, prinsip hidup yang dibawa sejak dahulu hingga masuk persoalan perkawinan secara adat maupun agama. Masih banyak orang berpandangan bahwa semakin besar nilai “moko” yang dibuat belis maka harga diri perempuan pun semakin tinggi nilainya, meskipun pandangan ini seiring berjalannya waktu mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Sebagian lagi berpandangan bahwa belis yang terlalu mahal ibarat menjual anak gadis untuk sang lelaki. Ada fenomena kekinian bahwa mahalnya belis disesuaikan dengan strata pendidikan sang gadis. Gadis tamatan SMA, S1, S2 dan S3 berbeda nilainya yakni semakin tinggi strata pendidikannya maka semakin tinggi pula nilai belisnya. Namun, banyak diantaranya berfikir terbalik bahwa sebaiknya semakin tinggi strata pendidikan akan semakin rendah nominal belisnya dikarenakan perempuan dengan predikat pendidikan yang tinggi seharusnya lebih mengerti dengan kondisi ekonomi keluarga sang lelaki. Terserahlah, dari sudut pandang mana orang memandang karena semua bergantung dimana pijakan sang pengamat memandang memandang objek bernama “belis”. Ada lelaki yang berpandangan bahwa jika ia telah membayar belis maka secara otomatis telah membeli lunas sang gadis yang berkonsekuensi bisa diapakan saja gadis itu.
Lelaki itu...
Siap maju dengan segala konsekuensi, namun tak sedikit pun berfikiran untuk menyusahkan gadisnya saat kelak menjadi istri karena ia tahu bahwa tujuan pernikahan adalah kebahagiaan. “Maukah kau hidup bahagia bersamaku?, adik terlalu manis untuk diperjuangkan” ia membatin secara tak langsung dengan gadis manja itu. Gadis itu bangga dan kagum dengan perjuangan calon imamnya dengan segala kekurangannya dengan keyakinan bahwa “inilah lelakiku yang bakal berdiri tegak di depanku saat sama-sama melaksanakan shalat berjamaah bersama anak-anaknya kelak”.
Lelaki itu...
Semakin gamang menatap benda itam itu dengan penuh harap, dengan penuh optimis sambil angannya bermuara pada duduknya mereka berdua di kursih pelaminan disaksikan seluruh keluarga dan kerabatnya dengan doa-doa tulusnya untuk kebahagiaan mereka. “Ah, aku harus memiliki benda hitam ini. Bukan sekedar syarat melamarmu namun juga aku adalah manusia yang taat pada adat yang telah turun-temurun dilestarikan”. Ia membatin dalam qolbu.