Baru-baru ini beredar informasi melalui media sosial tentang ibadah shalat tarawih di daerah/masjid tertentu yang dilakukan hanya tujuh (7) menit meskipun dengan versi 23 rakaat. Jika dibayangkan kecepatannya sangat luar biasa sehingga saya lalu berfikir ini mungkin bukan shalat tetapi hanya sekedar senam malam dengan semangat balapan formula one atau moto GP yang sering menjadi tontonan menarik dalam dunia olahraga. Saya tak mempermasalahkan dua versi jumlah rakaat shalat tarawih yakni delapan (8) maupun dua puluh tiga (3), namun yang mengherankan adalah tentang waktu (timing) shalatnya yang begitu cepat.
Saat memperhatikan panjang pendeknya bacaan-bacaan shalat setiap gerakan bahkan memakai surat terpendek sekalipun rasanya dengan waktu 7 menit agaknya sulit untuk diselesaikan secepat itu. Kesan yang muncul adalah shalat ini hanya bermain-main saja dengan hanya mendapatkan keringat tanpa makna. Pertanyaannya adalah apakah nilai ibadah shalat ditentukan oleh cepat lambatnya ataukan yang sering disebut dengan istilah “khsuyu” dan “tuma’ninah”? untuk mendapatkan shalat yang kusyu dan tuma’ninah memang tidaklah mudah namun tentu bagi orang yang melaksanakannya hanyalah bisa berusaha dan sepenuhnya bertawakkal kepada yang paling berhak menilai pelaksanaan ibadah shalat ini.
Mengerjakan shalat demikian, jelas motifasinya hanyalah melunasi beban kewajiban beribadah dan tujuan keduanya adalah cepat beralih ke kesibukan urusan duniawi yang masih menumpuk dan menanti. Kendati demikian jika sebagai imam bukan berarti mengerjakan shalat dengan waktu yang teramat lama dengan bacaan ayat-ayat yang panjang sehingga membuat jamaah sampai jenuh dan ngumpatdi belakang, tentu sebagai imam harus juga bisa memahami kondisi jamaah, bukankah manifestasi imam dalam shalat layaknya pemimpin dala kehidupan berbangsa dan bernegara?. Kondisi ini sangat mirip dengan ajaran agama bahwa adanya keselarasan secara proporsional antara dunia dan akhirat. Bagi saya, shalat dengan kecepatan tinggi seperti itu juga telah mengajarkan kepada generasi Islam yang menjadi makmun saat itu untuk meneruskan kebiasaan buruk ini bahkan mampu tertular di masjid-masjid lain jika tidak diberikan pemahaman yang baik dari para ulama di negeri ini.
Mendirikan shalat diidentikan dengan mendirikan tiang agama sehingga yang meninggalkannya adalah sebagai pemeluk agama Islam yang merobohkan Islam itu sendiri. Entahlah, dengan analogi apa lagi untuk kasus shalat tarawih dengan kecepatan 7 menit untuk 23 rakaat? Apakah shalat diibaratkan dengan arena balapan yang setiap lap adalah setiap rakaat? Apakah jamaah adalah pembalap-pembalap yang sedang bertarung antara individu atau bertarung antara masjid yang saling berdekatan?. Mungkinkah penentuan urutan shaf berdasarkan hasil kualifikasi seperti moto GP?. Mari balapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H