Berbagai definisi yang diciptakan oleh baik pestudi maupun organisasi kemanusiaan membuat tidak adanya definisi pasti mengenai faith-based humanitarian organizations (FBO) , namun terdapat fitur distingtif yang membedakannya dengan secular humanitarian organizations, diantaranya yakni berafiliasi dengan institusi agama tertentu, adanya misi yang merujuk pada nilai agama, dukungan dana bersumber dari institusi relijius, serta proses pengambilan keputusan didasarkan pada nilai agama.
FBO selain menawarkan nilai kemanusiaan juga menawarkan nilai relijius bagi pemeluknya. Hal ini terkait dengan konsiderasi mengenai kewajiban para pemeluknya dalam menjalankan pemerintah Tuhan (Ferris, 2005). Pada tulisan ini ini hubungan seorang believer secara vertikal dan horizontal menjadikan penulis menempatkan FBO memiliki nilai lebih dibandingan dengan sekuler.
Ide-ide liberalisme yang dibawa oleh Amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dingin serta globalisasi menjadikan organsiasi kemanusiaan sekuler juga memiliki tempat bagi non-believers maupun believers. Narasi dan respons "It's not just religious issue, but it's about humanity" dalam isu bencana atau konflik nasional dan global.
Namun hal ini juga terjadi dengan perkembangan FBO yang memiliki range semakin luas dalam hal ikatan relijiusitas. FBO progresif dalam misinya mempersilakan dan membuka kesempatan yang lebar bagi pemeluk agama dan keyakinan manapun atau yang tidak berkeyakinan untuk berpartisipasi, dengan kata lain terdapat FBO yang beroperasi secara sekuler.
Jika tetap mengacu pada karakteristik FBO yang telah disebutkan di awal, penulis cenderung lebih memilih organisasi kemanusiaan sekuler. Tanpa harus terlebih dahulu menekankan konteks jenis dan demografi wilayah konflik atau bencana terlebih dahulu, penulis lebih menggarisbawahi korban sebagai individu yang memerlukan bantuan.
Organisasi kemanusiaan sekuler menurut penulis adalah organisasi yang mendorong ide individu sebagai "citizen of the world" sehingga motivasi dalam memberikan bantuan adalah empati sebagai sesama manusia yang memiliki hak asasi untuk bertahan hidup. Bentuk sekuler juga memungkinkan untuk dapat mereduksi risiko gesekan yang sensisitif dengan isu agama dan bahkan menyebabkan tujuan kemanusiaan tidak dapat tercapai dengan baik.
Contohnya yakni ICRC (International Committee of Red Cross) yang telah melakukan aksi kemanusiaan di daerah konflik Rwanda sejak tahun 1990 berkemungkinan untuk mendapatkan lebih banyak hambatan jika bersifat relijius. Organisasi sekuler memudahkan believers agama apapun maupun non-believers dapat membantu secara cepat tanpa harus berafiliasi dengan satu institusi agama tertentu, utamanya saat dalam fase gawat darurat.
Referensi:
Ferris, Elizabeth. 2005. Faith-based and Secular Humanitarian Organizations. International Review of the Red Cross Volume 87 Number 858.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H